Mahasiswa dan Konsolidasi Demokrasi
Galant Victory
Enam belas tahun sudah Indonesia mengenyam reformasi. Tatanan ketatanegaraan sontak berubah, demikian juga sistem politik, mengingat kondisi bangsa sebelum reformasi begitu memprihatinkan. Krisis finansial dunia yang berimbas pada ekonomi Indonesia, ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah, hingga kerusuhan Mei 1998 tercatat sebagai salah satu sejarah paling mengerikan Indonesia. Hal tersebutlah yang menggulingkan kekuasaan orde baru dan melahirkan reformasi.
Capaian utama dari reformasi ialah memperbarui tatanan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 terutama dalam bidang politik, hukum, dan ekonomi.
Namun, hingga saat ini masih banyak masalah yang datang silih berganti. Pencapaian agenda reformasi masih jauh dari harapan. Salah satunya supremasi hukum dan Kolusi Korupsi Nepotisme. Kebebasan mengutarakan pendapat secara lisan maupun tulisan, persyaratan utama kehidupan demokrasi sebagian telah terpenuhi. Ada yang beranggapan masa transisi telah lewat dan sekarang mulai memasuki masa konsolidasi demokrasi.
Konsolidasi demokrasi merupakan legitimasi demokrasi yang luas dan kuat sebagai sistem yang tepat bagi masyarakat. Konsolidasi ditandai perilaku serta kepercayaan, di mana elit politik percaya pada legitimasi demokrasi dan saling menghargai hak satu sama lain untuk meraih kekuasaan berdasarkan aturan dan konstitusi. Organisasi masyarakat dan partai politik harusnya mendukung atau setidaknya tidak menolak demokrasi, aturan dan lembaga konstitusional negara. Sebagian besar publik percaya bahwa demokrasi merupakan sistem yang paling tepat.
Menurut pakar politik dari Amerika Samuel P. Huntington masa transisi demokrasi seharusnya akan berakhir pada dua kali pemilu yang demokratis yang mengantarkan pada pemerintahan yang demokratis dan berkerja pada konstitusi yang demokratis pula. Dari sudut pandang itu, Indonesia sudah memenuhi syarat dengan lebih dari dua kali pemilu. Maka tidak berlebihan jika banyak yang beranggapan bahwa Indonesia akan segera memasuki masa konsolidasi demokrasi melalui gerbang Pemilu 2014.
Pemilu merupakan sarana untuk melakukan perubahan politik secara periodik, perubahan orang yang memerintah dan perubahan pola serta arah kebijakan publik. Namun sangat disayangkan, diakui atau tidak, sebagian masyarakat Indonesia sudah terjebak dalam permainan politik pragmatis. Kecurangan politik menjadi hal biasa. Politisi yang terpilih dengan cara seperti ini jelas akan merugikan rakyat, karena saat kampanye saja sudah berlaku curang, apalagi saat menjabat.
Sejatinya, pemilu adalah ritual sakral untuk memilih pimpinan negara terbaik tempat menggantungkan nasib bangsa lima tahun ke depan. Solusi konkretnya harus ada sosialisasi lebih lanjut mengenai teknis dan hakikat pemilu. Menyongsong pemilu 2014 ini, Indonesia memang harus benar-benar siap. Sehingga tercipta pemilu yang khidmat, kondusif, dan sportif. Hasilnya, pemimpin yang terpilih memang sesuai dan mengutamakan kepentingan rakyat.
Mahasiswa sebagai individu terpelajar, dengan kadar keilmuan yang dimilikinya, seharusnya mampu memainkan peran dan fungsinya, tidak hanya sebagai insan akademis, namun juga memberikan sumbangsih pemikiran serta tenaganya bagi persoalan di sekitarnya. Mahasiswa dapat dikatakan berperan besar dan berada dalam posisi yang strategis, yakni sebagai jembatan antara pemerintah dengan rakyat. Mahasiswa masih dianggap memiliki posisi yang independen. Dengan proses pembentukan idealisme selama di kampus, mahasiswa juga tak sungkan untuk menyampaikan pendapat khalayak luas dengan jaringan dan pengetahuan yang dimilikinya.
Mahasiswa sebagai kaum intelektual, harus mampu memberi sumbangsih berharga terhadap pelaksanaan suksesi pemimpin masa depan bangsa.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh mahasiswa dalam mengawal proses pemilu. Pertama, mahasiswa mesti mengajak masyarakat agar berpartisipasi dalam pemilu dan tidak golput. Kedua, mahasiswa harus menjadi contoh dan pionir dalam mencerdaskan pemilih. Mahasiswa harus melakukan pencerdasan kepada masyarakat agar memilih secara objektif, tidak asal pilih apalagi kalau memilih karena sejumlah uang. Para politisi yang tebukti tidak pro rakyat harus diganti dengan orang baru yang memiliki semangat menyejahterakan rakyat, dan itu hanya bisa dilakukan melalui proses pemilu yang berkualitas. Terakhir, mahasiswa harus mampu mengawal proses pemilu agar bebas dari kecurangan. Mahasiswa dapat bergabung menjadi tim relawan resmi dari Badan Pengawas Pemilu atau memberikan pencerdasan ke masyarakat agar memberikan sanksi sosial kepada pelaku kecurangan dengan tidak memilih mereka saat pemilu.
Mahasiswa juga harus mempersiapkan diri dalam menyongsong konsolidasi demokrasi dengan menciptakan iklim politik kampus yang ideal. Politik kampus harus dijadikan sarana berproses, pembentukan idealisme, bukan sebagai ajang perpecahan antarmahasiswa. Konsolidasi demokrasi harus lebih dahulu diterapkan di kampus sehingga ketika diterjunkan ke masyarakat, mahasiswa siap menjadi generasi pembaharu yang akan memperbaiki perpolitikan bangsa.
Komentar
Kirim Komentar