Politik Pendidikan Indonesia (?)
21-07-2014, 01:05 WIB
Mutia Rosadi
"Ir. H. Joko Widodo lahir di Surakarta, 21 Juni 1961, merupakan alumnus UGM. Sejak 15 Oktober, Jokowi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Tokoh yang selalu jujur dan bekerja keras ini dikenal dengan gaya blusukannya ke pelosok ibukota. Berbagai penghargaan telah beliau raih, antara lain ia termasuk salah satu tokoh terbaik dalam pengabdiannya kepada rakyat.
Sebagai tokoh seni dan budaya, beliau dinilai paling bersih dari korupsi. Namun demikian, usahanya di bidang Upah Minimum Provinsi (UMP) mengalami kendala oleh tindakan buruh yang memanggil kembali perwakilannya saat sidang berlangsung. Buah dari pertemuan tersebut dewan pengupahan menetapkan UMP sebesar Rp2,2 juta."
Keteladanan Jokowi pada kutipan wacana tersebut adalah:
A. alumni UGM yang cinta seni dan budaya
B. gemar blusukan ke pelosok wilayahnya
C. mengadakan pertemuan dengan dewan pengupahan
D. menjadi tokoh seniman terkemuka di DKI Jakarta
E. menerima berbagai penghargaan dan gelar
Kutipan di atas merupakan salah satu soal Ujian Nasional (UN) 2014 pada mata pelajaran Bahasa Indonesia tingkat SMA. Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai pertanyaan, apakah ini disengaja sebagai salah satu taktik politik atau sesuatu yang tidak disengaja. Jika memang taktik politik, tentu saja hal ini dianggap kampanye yang ilegal.
Namun Kemendikbud mengakui tidak tahu-menahu mengenai munculnya Jokowi dalam soal UN ini. Karena soal UN ditulis oleh guru, yang normalnya tentu tidak terlibat secara langsung dengan partai politik. Begitu compang-campingnya pelaksanaan UN di Indonesia sekarang ini. Tak semestinya masalah perpolitikan bercampur baur yang sama sekali tak ada kaitannya dengan perpolitikan.
Said Salahudin, seorang pengamat politik Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia berpendapat bahwa masuknya nama Jokowi ke dalam soal UN seumpama pesan-pesan politik. UN sewajarnya diikuti oleh kelas III yang merupakan pemilih pemula. Serupa memperkenalkan sosok Jokowi kepada mereka untuk Pilpres tanggal 9 Juli silam.
Kutipan yang berisikan sosok Jokowi tersebut memuat tentang pribadi Jokowi, tanggal kelahirannya, jenjang pendidikan dan penghargaan yang diterimanya. Pada bagian soal ditanyakan mengenai keteladanan Jokowi. Kutipan tersebut benar-benar hanya berisi tentang kebaikan-kebaikannya, yang tentu saja akan sangat menguntungkan pihak Jokowi selaku calon presiden Indonesia.
Ujian yang menjadi ketentuan wajib secara nasional, di mana diikuti oleh seluruh siswa-siswi se-Indonesia ini tentulah mempunyai standarisasi yang sama. Sedangkan Jokowi merupakan Gubernur DKI Jakarta.
Bagaimana jika kenyataannya ada siswa di Aceh, Papua, serta di belahan nusantara lain Indonesia yang sama sekali tidak mengenal sosok Jokowi? Bukankah mereka akan kesulitan memahami soal tersebut, lantaran mereka harus mereka-reka tentang figur yang tidak biasa. Atau mungkin sebaiknya mereka harus lebih memperluas pengetahuannya mengenal tokoh maupun yang bukan tokoh Indonesia, supaya tidak kagok menjawab soal. Sepakatkah jika siswa-siswa tersebut dikategorikan ke dalam "korban" fenomena UN, hanya karena permainan hitamnya politik di negeri ini.
Lain lagi yang diutarakan oleh Agus Nuryatno, seorang Dosen Ilmu Pendidikan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menurutnya, Jokowi belumlah layak menjadi tokoh nasional sehingga tidak tepat dirujuk sebagai tokoh panutan para siswa apalagi sampai tertera dalam soal UN. Jabatan dan pengalamannya saja menjadi gubernur sejatinya belum selesai. Jadi belum teruji sebagai tokoh nasional.
Tentu hal ini menimbulkan prasangka, bahwasannya sungguh erat kaitannya dengan momentum politik yang sedang berjalan, bukan hanya sebuah unsur tak kesengajaan. Persepsi tak mengenakkan pun turut timbul. Adanya penyusupan kepentingan politik lewat dunia pendidikan, padahal pendidikan haruslah netral dan steril dari hal-hal semacam itu. Ini memperlihatkan sekaligus membuktikan lemahnya pengawasan internal Kemdikbud dalam pelaksanaan UN.
Muhammad Nuh mengatakan bahwa timbulnya biografi Jokowi dalam soal UN akan menjadi catatan bagi Mendikbud. Pihak Mendikbud mengatakan bahwa mereka butuh waktu untuk mengecek apakah hal ini adalah unsur kesengajaan atau kekhilafan. Namun sampai sekarang masih belum ada kabar dan klarifikasi dari Mendikbud mengenai hal ini. Apa benar Mendikbud telah menyelesaikan masalah ini, atau itu hanya janji belaka?
Marilah meneliti kembali, mengevaluasi setiap langkah yang ditempuh untuk pendidikan Indonesia serta perpolitikan Indonesia. Menjahit kembali betapa compang-campingnya, juga tercorengnya pendidikan Indonesia lantaran betapa bernodanya dunia politik negeri saat ini.
Tak hanya Mendikbud saja yang mesti melakukan evaluasi dan juga memastikan bahwa hal seperti ini tak akan terulang kembali, pun semua yang berhubungan dengan kependidikan di Indonesia haruslah ikut berperan. Entah itu pelajar atau mahasiswa, tenaga pengajar dan pendidik, orang tua serta masyarakat juga turut membantu, membenahi diri demi perbaikan dunia pendidikan Indonesia.
Komentar
Kirim Komentar