Universum Politik dan Musik
Robby W. Riyodi
Politisi dan musisi bagaikan koin bersisi dua dalam kehidupan kecil politik. Sama sekali berbeda, namun tidak bisa dipisahkan. Begitupun, hal ini tentulah tidak menjadi rahasia lagi, hingga nama besar mereka mengagumkan di mata orang banyak. Jika ditanyakan betul, barangkali mereka akan mengelak dan tidak mau terang-terangan dengan hal itu. Barangkali juga mereka memang tidak terlalu tertarik menceritakan detail dari perjalanan hidup dan pemikiran mereka dan musik sebagai latar belakangnya, atau sebagian mereka memang sengaja ingin memancing orang-orang supaya mempertanyakan itu, kemudian mencari dan membaca sejarah mereka. Sebuah anggapan yang utopis barangkali.
Namun jika benar ini adalah perencaan yang masif untuk generasi muda sebagai pembaca politik dan sejarah. Begitu banyak ditemukan bukti bahwa politisi dan musisi telah "menipu" kita dengan berbagai cara mereka, bahkan dalam kehidupannya yang tidak diketahui itu mereka terlalu banyak main belakang dan berkedok diam. Pun, fakta sejarah berbicara dan mengakhiri anggapan-anggapan tersebut. "Saya tidak boleh lagi mendengarkan Appasionata gubahan Bethoven. Alunan musiknya membuat kau terlena ingin membelai kepala anak-anak, bukannya melumat kepala musuh". Dalam ucapan tokoh marxisme ini, Lenin dan ideologi pemikirannya yang kokoh dan sangat kuat itu telah mempengaruhi banyak pergerakan di seluruh dunia. Dari ucapan tersebut dapat dilihat betapa intimnya hubungan antara politik dengan musik. Betapa sepinya mereka tanpa seni yang telah menulikan banyak telinga itu.
Dalam sebuah buku mengenai Refleksi Pemikiran, Perilaku, dan Etika Politik Indonesia, terdapat kutipan yang menyebutkan sebuah ide filosofis yang sangat terkenal dari Phytagoras, "Konsensus dan harmoni di dalam ketatanegaraan, tak terpisahkan dengan konsensus dan harmonisasi di dalam musik", nampak betul kalau Phytagoras memang sudah melangkah lebih jauh. Masa pergolakan Yunani kuno sebagai patokan sejarah yang bermula, keberadaan musik universum mengaitkan alam politik dengan musik adalah sebuah fantasi tentang keindahan yang menakjubkan, sekaligus bahaya besar yang tidak terduga. Begitulah politik dan segenap peristiwa yang tidak bisa diacuhkan menguasai kehidupan menyeluruh. Serta ancaman-ancaman yang akan menghancurkan dan menina bobokan pendengar. Begitu dekatnya politik dan musik.
Memang sejak mula musik tak dapat dipisahkan dari perang-perang besar dalam sejarah besar dunia. Sebab musik telah mengawali, menyemangati, dan merayakan kemenangan perang. Hitler yang dalam sejarah besarnya pada tahun 1940 telah menguasai sebagian besar Eropa, masa mudanya ia adalah seorang yang sangat suka mendengarkan musik karya Wagner, seorang revolusioner yang juga telah menulis Mars dan Overture untuk demokrasi populistik Amerika. Pada masa terjadinya pemberontakan fasis pasukan terjung payung Perancis diiringi oleh lagu Pias je ne re grette rien (Aku, pantang mengeluh). Kemudian di Amerika Dixie Musik menjadi semacam panggilan bagi pertemuan kaum konfederalis yang sampai kini pun belum bisa menerima kekalahan mereka di abad lalu.
Semenjak abad ke-17 musik berperan besar dalam menumbuhkan civil society. Namun, di Indonesia, musik sebagai sarana pencerdasan kehidupan bangsa tidak bisa diwujudkan. Miris sekali memang, malah yang pernah terwujudkan adalah musik sebagai alat politik. Musik secara universal menjadi dalang untuk penguasa mewujudkan ideologinya, seperti pembatasan pemikiran atau cuci otak. Pada pemerintahan Soekarno yang dipandang oleh kaum intelektual sebagai ratu Jawa yang berpeci, pemimpin tradisional dalam bentuk modern sangat tidak senang melihat anak muda yang terpengaruh gaya barat. Sebaliknya, Soekarno menegaskan bahwa anak muda Indonesia harus mencerminkan adat ketimurannya.
Pada 1970, ketika seluruh dunia dimabuk oleh lagu-lagu The Beatles, Indonesia, dan pemudanya juga ikut dalam pengaruhnya. Namun, bagi Soekarno lagu-lagu The Beatles hanya membuat utopis pemuda Indonesia dengan lirik lagu yang dianggap hanya berisikan cinta serta gaya hidup yang hippies. Musik ngak ngik ngok begitulah Soekarno menamakan karena saking tidak senangnya pada The Beatles. Banyak juga band lokal Indonesia yang ditahan oleh pemerintah, salah satunya Koes Bersaudara, karena meyanyikan lagu The Beatles dalam sebuah acara hajatan petinggi militer di daerah petamburan Jakarta. Begitulah mesranya hubungan antara pemimpin dengan musisi.
Sepanjang masa orde baru kembali pembatasan pemikiran dilakukan oleh Soeharto. Sebagai presiden yang begitu cinta pada Jawa, Soeharto memang banyak mengusung kultur Jawa dalam pidato-pidato kebijakannya, "Mikul dhuwur mendhem jero" yang disalahartikan dalam praktiknya, sehingga bertentangan dengan prisnsip-psinsip tranparansi dalam birokrasi modern. Melakukan pemberdayaan terhadap karya-karya musik, yang bisa menyanjung tinggi citra kepemimpinan seumur hidupnya. Pada masa orde baru inilah pintu barat kembali terbuka lebar untuk Indonesia. Kemudian menyebabkan begitu banyak diciptakan musik dan lagu-lagu yang menyanjung tinggi pimpinan. Soeharto dan rezim orde baru melegitimasi kekuasannya lewat bantuan musisi. Mungkin sebagai luapan rasa kurang senang atas hegemoni penguasa banyak lagu resmi yang kemudian diplintir, diplesetkan atau dinyayikan dengan nada-nada yang sumbang dan lirik yang terpotong-potong. Kritik terhadap pemerintah pun banyak disuarakan melalui lagu-lagu yang berisikan lirik-lirik revolusioner. Iwan Fals salah satunya, musisi yang begitu "mesra" dengan orde baru dalam sejarah perjalannya menjadikan lagu sebagai bahan kritik terhadap ketidakstabilan politik Indonesia semenjak 1970. Sebab perkembangan politik dalam sebuah negeri tentu saja ikut mempengaruhi perkembangan sebuah scene dan iklim bermusik para musisi di negeri tersebut.
Begitu mesranya politisi dan musisi. Dari sekian banyak peristiwa-peritiwa politik, segitu pula musik menjadi satu sisi tokoh dan peristiwa-peristiwa politik dunia dan negara kita sendiri. Musik universum mengaitkan alam politik dengan musik adalah sebuah fantasi tentang keindahan yang menakjubkan, sekaligus bahaya besar yang tidak terduga. Sampai sekarang musik memiliki peran sendiri dalam politik. Pada tahun politik ini, musik dangdut misalnya menjadi patner dalam kampanye-kompanye partai politik, dan beberapa strategi politik yang juga tidak jauh dari musik. Bahkan musik terkesan menjadi alat untuk politik, atau juga sebaliknya, politik adalah alat bagi musik.
Komentar
Kirim Komentar