Berita Tidak Berimbang dan Penyebnya
Fitri Aziza
Judul | : | 50 Tanya-jawab Tentang Jurnalistik |
Penulis | : | Agus Sudibyo |
Penerbit | : | PT Gramedia |
Cetakan | : | I, Desember 2013 |
Tebal | : | Xx + 206 Halaman |
Beberapa bulan lalu masyarakat dibuat geger oleh salah satu media online di Indonesia yang memuat berita berjudul "Ustaz Solmed Dinilai Sebagai Da’i Matre". Berita ini dikutip oleh media online tersebut dari sebuah surat kabar lokal Hong Kong berbahasa Indonesia. Di dalam surat kabar itu diberitakan bahwa Ustaz Solmed membatalkan sepihak jadwal ceramah di Hong Kong, minta kenaikan tarif ceramah dari Rp6 juta jadi Rp10 juta, minta bagian hasil penjualan tiket dan "surban keliling", serta minta penginapan berbintang dan mobil jemputan pribadi selama berada di Hong Kong. Berita tersebut hanya bersumber pada satu pihak saja. Tak ada satu pun pernyataan atau konfirmasi dari pihak Ustaz Solmed dalam berita itu. Nah, kasus ini dapat dikategorikan sebagai pemberitaan yang tidak berimbang.
Beberapa tahun belakangan ini Dewan Pers banyak mendapatkan pengaduan tentang ketidakberimbangan berita. Pemberitaan yang muncul di media–baik itu media cetak, elektronik, maupun online–sering mengandung penilaian atau komentar tentang suatu pihak tanpa adanya konfirmasi. Atau terkadang porsi kutipan pernyataan antara dua pihak yang bertikai tidak sebanding, sehingga menyebabkan berita menjadi tidak berimbang. Hal itu terlihat dari data penyelesaian kasus-kasus pengaduan pers di Dewan Pers tahun 2011 dan 2012 yang menempatkan ketidakberimbangan berita sebagai posisi pertama pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (Hal. 154).
Tidak berimbangnya sebuah berita disebabkan karena berkembangnya kecenderungan media untuk menampilkan liputan satu sisi pada berita-berita yang mengandung penilaian atau tuduhan terhadap subjek berita. Media hanya mementingkan aktualitas tanpa memperhitungkan keberimbangan beritanya.
Selain itu ada lima penyebab munculnya berita yang tidak berimbang. Pertama, persaingan sengit antara media untuk menjadi yang paling cepat dalam menyampaikan berita membuat media lalai terhadap aspek keberimbangan dan verifikasi. Kedua, sumber berita menutup diri atau sulit diakses oleh media, sementara media selalu dikejar tenggat waktu pembuatan berita. Ketiga, rendahnya tingkat penghargaan media atau wartawan terhadap etika dan profesionalisme media. Keempat, beban kerja yang sangat berat membuat wartawan kurang maksimal atau kurang teliti dalam menyiapkan berita. Kelima, ketidakberimbangan berita juga lazim terjadi karena media media memang partisan secara ekonomi atau politik (Hal. 28).
Masalah tentang ketidakberimbangan berita ini dibahas secara tuntas di dalam buku ini. Tidak hanya tentang ketidakberimbangan berita, masalah lain dalam dunia jurnalistik seperti berita negatif, wartawan amplop, verifikasi data, berita yang menghakimi, tanggung jawab media, jurnalisme warga, dan banyak lainnya juga dibahas dalam buku yang berjudul 50 Tanya-Jawab Tentang Jurnalistik ini. Semuanya dijelaskan secara jelas dan lugas.
Buku ini sederhana, tapi mengena. Buku tidak dibuka dengan kalimat-kalimat pengantar yang panjang dan penuh dengan narasi, tapi langsung membahas ke titik permasalahan. Sesuai dengan judul, buku ini memang dikemas dalam bentuk tanya-jawab. Sehingga pembaca lebih mudah memahami persoalan nyata yang terjadi di lapangan.
Akhirnya, dengan membaca buku ini, baik pelaku pers maupun masyarakat umum diharapkan dapat memahami jurnalistik secara menyeluruh. Bagi jurnalis diharapkan mampu menjalankan tugasnya secara baik dan benar, sesuai dengan kode etik jurnalistik. Sedangkan bagi masyarakat umum diharapkan bisa memahami seluk beluk kegiatan jurnalistik, sehingga dapat bekerja sama dengan jurnalis dalam upaya mengahasilkan berita yang akurat.
Komentar
Kirim Komentar