Pragmatisme Kehidupan Zaman Kolonial
Media Rahmi
Judul | : | Malaikat Lereng Tidar |
Penulis | : | Remy Sylado |
Penerbit | : | Kompas |
Tahun terbit | : | 2014 |
Cetakan | : | Pertama |
Tebal | : | 544 halaman |
Judul | : | Malaikat Lereng Tidar |
Penulis | : | Remy Sylado |
Hanya ada dua pilihan bagi laki-laki Indonesia semasa penjajahan kolonial Belanda, menjadi pahlawan atau menjadi pengkhianat. Bagi yang punya harga diri dan penghormatan terhadap bangsa, maka akan menjadi pahlawan. Sedangkan bagi pengecut, tak punya harga diri, dan bergaya hidup pragmatis, maka akan memilih hidup sebagai pengkhianat yang memerangi bangsa sendiri.
Menjadi pahlawan berarti secara terang-terangan memusuhi dan memerangi Belanda. Hidup akan gelisah karena selalu diintai dan terancam dihancurkan oleh para penjajah. Tapi meskipun akhirnya kematian mendatangi, mereka akan mati dengan penuh rasa kebanggaan. Sedangkan menjadi pengkhianat berarti menjadi antek-antek penjajah. Memang kehidupan akan terjamin, namun apa gunanya bila tidak ada harga diri.
Salah satu peran untuk pengkhianat negara saat itu adalah menjadi korps polisi militer atau dikenal juga dengan istilah marsose. Para marsose itu dilatih untuk menjadi tentara yang tangguh untuk menumpas para gerilyawan Indonesia. Meski termasuk pekerjaan hina, tapi tidak sedikit pemuda Indonesia yang memilih menjadi marsose. Salah seorang dari mereka adalah Jehezkiel.
Jehezkiel atau Jez adalah seorang pemuda kelahiran Minahasa, Sulawesi Utara. Jez rela meninggalkan kampung halamannya untuk mengikuti pelatihan marsose di Pulau Jawa. Motif Jez untuk menjadi seorang marsose sederhana saja. Ia hanya ingin menjadi orang berpangkat dan terlihat gagah di hadapan pujaan hatinya, Naomi. Tawaran untuk hidup lebih sejahtera pun telah membutakan mata hati Jez. Gaya hidupnya yang pragmatis membuatnya rela memerangi tanah airnya sendiri.
Tapi meski demikian, pilihan Jez bukannya tanpa alasan. Kalau diibaratkan, menjadi marsose sama dengan menjadi PNS pada zaman sekarang. Semua kebutuhan keluarga ditanggung oleh pemerintah Belanda. Bahkan bila si tentara tersebut tewas dalam peperangan, keluarganya tetap mendapatkan santunan dari pemerintahan kolonial. Hal ini tentunya sangat menguntungkan. Tak ayal banyak pribumi yang berbondong-bondong menjadi marsose meski akhirnya kehilangan harga diri dan dimusuhi bangsa sendiri–seperti masyarakat sekarang yang berlomba-lomba menjadi PNS dengan segala cara.
Namun kiprah pengkhianat dalam novel ini tak berakhir seperti kisah drama kolosal yang membuat tokoh jahatnya berakhir dengan kesengsaraan. Remy Sylado lebih memilih menempatkan Jez sebagai seorang protagonis. Setelah berhasil membantu Belanda dalam mengatasi pemberontakan para gerilyawan Indonesia di Aceh, Jez justru mendapat penghargaan dan akhirnya hidup bahagia hingga akhir hayat. Sungguh akhir kisah yang sangat disayangkan.
Novel ini merupakan representasi dan sindiran terhadap kehidupan masyarakat Indonesia zaman penjajahan. Pragmatisme telah menutup mata hati masyarakat Indonesia, sehingga rela menggadaikan harga diri demi mendapatkan keuntungan sesaat. Kisah ini mengingatkan kembali kepada kita, bahwa gaya hidup pragmatis telah menghancurkan kesolidan bangsa Indonesia, sehingga dengan mudah bisa dijajah dengan waktu yang sangat lama. Jangan sampai gaya hidup seperti ini kembali populer dan membuat kita menjadi penjajah di negeri sendiri.
Komentar
Kirim Komentar