Mengulik Sejarah Lekra
Liza Roza Lina
Judul | : | Seri Buku Tempo: Lekra dan Geger 1965 |
Pengarang | : | Tempo |
Halaman | : | 150 halaman |
Penerbit | : | PT Gramedia |
Tahun Terbit | : | Januari, 2014 |
"Lekra lahir atas keprihatinan seniman terhadap Indonesia yang pada saat itu belum lepas sepenuhnya dari penjajah. Menarik garis antara "Kami dan Mereka", ide seni untuk rakyat berubah menjadi konflik terbuka, yang bukan Lekra diganyang. Sebaliknya ketika zaman berubah, yang Lekra dihabisi. Inilah cerita tentang cita-cita, polemik, pengkhianatan, darah, dan kematian."(Seno Joko Suyono, Redaktur Pelaksana Majalah Tempo)
Pada 17 Agustus 1950, di Jakarta, sejumlah seniman dan politikus membentuk Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Melalui konsep seni untuk rakyat, Lekra mengajak para pekerja kebudayaan mengabdikan diri untuk revolusi Indonesia.
Lekra mengusung sebuah gagasan baru bagi kaum seni di tanah air. Lekra bukan sekadar media hiburan rakyat. Tapi lebih dari itu. Lekra adalah gelora kecintaan terhadap karya seni dan negeri. Tak ayal Lekra begitu dicinta. Seniman dari berbagai kelas berduyun-duyun bergabung. Konsep seni yang pro rakyat menjadi magnet tersendiri dan lantas menjadikan Lekra naik pamor dalam waktu singkat.
Namun kabar kedekatannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) membuat Lekra dicap sebagai onderbouw partai beraliran kiri itu. Terbentuknya Lekra memang atas inisiatif pemimpin PKI, D.N. Aidit. Tapi sebenarnya banyak anggota Lekra yang menolak lembaga kesenian itu disebut sebagai bagian dari PKI.
Meski demikian, tampaknya pikiran masyarakat terlanjur diracuni oleh anggapan miring tersebut. Kondisinya diperparah lagi dengan adanya pemberontakan yang dilakukan PKI. Serta propaganda pihak-pihak yang ingin meggulingkan pemerintahan Sukarno. Sehingga membuat citra Lekra semakin buruk. Hal ini pun terbukti. Setelah hancurnya kejayaan Orde Lama dan PKI, masa keemasan Lekra pun turut hancur. Semua orang yang berhubungan dengan Lekra diringkus–sama dengan yang terjadi pada anggota PKI. Ada yang dibuang ke pulau terpencil, bahkan tak jarang pula yang dibunuh.
Karya-karya seniman Lekra pun dimusnahkan, hingga nyaris tak berbekas. Lekra seakan dihapus dari catatan sejarah, bak aib yang harus ditutupi rapat-rapat. Hal inilah yang membuat minimnya informasi tentang Lekra. Yang tersisa hanya informasi-informasi miring yang mendiskreditkan Lekra.
Dengan rangkuman hasil laporan khusus ini Tempo mencoba meluruskan sejarah. Mengumpulkan keping demi keping informasi. Mengulik informasi dari bekas-bekas anggota Lekra yang masih tersisa, dan memaparkan fakta-fakta terbaru tentang Lekra kepada publik. Dengan demikian dapat mengubah pandangan masyarakat yang terlanjur terkontaminasi oleh informasi-informasi yang sarat dengan pemutarbalikan sejarah.
Komentar
Kirim Komentar