Rasialime dan Diskriminasi Pemerintahan Orde Lama
Suci Larassaty
Judul : Kancing yang Terlepas
Penulis : Handry TM
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : Desember 2013
Tebal : 456 hlm; 20 cm
Di tengah kegelapan, di malam-malam yang biasanya tentram dan indah. Kini muncul setan-setan bergentayangan. Tidak jelas mereka suruhan siapa, namun distrik ini tidak terasa nyaman lagi. Menjelang Imlek Raya, rumah-rumah mewah yang biasanya dihiasi lampion-lampion meriah kini tampak membatasi diri. (Kancing yang Terlepas:317).
Hidup di tengah pemerintahan otoriter nan arogan menjadi suatu hal yang biasa di pemerintahan orde lama. Tidak ada tempat untuk para pecundang. Apalgi untuk para pembantah kebijakan pemerintah. Bagi yang melawan akan hilang malam.
Indonesia memang telah membebaskan diri dari penjajahan semenjak 1961. Namun tidak semua warga Indonesia bisa merasakan kemerdekaan secara utuh. Para pendatang yang bukan keturunan pribumi seolah tidak masuk hitungan. Rasis sangat kental. Pada masa itu warga Tionghoa tidak diakui sebagai warga Indonesia. Mereka masih dianggap anak keturunan Repoeblik Rakjat Tjina (RRT), walau lahir dan besar di Indonesia. Lebih mirisnya lagi mereka langsung dicap sebagai anteknya komunis yang tidak mendukung pemerintahan dan ditakutkan akan menggulingkan pemerintahan Bung Karno.
Sebelum masa bersejarah di tahun 1965 yang diperingati sebagai hari G30S PKI. Kasak kusuk radio di sudut-sudut negeri menyebarkan isu terkait pemerintahan Bung Karno yang akan dijatuhkan. Isu tersebut tentu saja menimbulkan berbagai hal yang negatif bagi setiap kalangan. Harga-harga sembako melambung tinggi dan kenyamanan masyarakat terganggu karena berkeliarannya patroli yang menangkap orang-orang yang diduga sebagai antek-anteknya PKI.
Banyak masyarakat yang ditangkap paksa oleh aparat negara. Tanpa pandang usia, semua warga yang dicurigai, ditangkap dan diinterogasi. Bahkan anak-anak yang cuma bermain "perang-perangan" saja, juga ditangkapi dan dijebloskan ke tahanan. Mereka dituduh sebagai mata-mata kelompok yang ingin menjatuhkan kekuasaan Bung Karno
Novel ini sekilas mengajak kita kembali ke masa kelam Indonesia pada pemerintahan orde lama. Pada masa ini diskriminasi dan rasialisme begitu pekat. Pembaca disuguhi dengan berbagai macam pelanggaran HAM yang dilakukan pada etnis Tionghoa pada masa itu. Pemerintahan dan masyarakat begitu membenci etnis Tionghoa. Hak-hak warga Tionghoa pun dibatasi–tidak seperti sekarang, warga keturunan Tionghoa bahkan bisa merambah dunia politik Indonesia. Begitu juga dengan sikap pemerintahan kala itu yang terkesan sewenang-wenang. Semua warga yang dicurigai anti pemerintahan ditangkapi tanpa pandang bulu. Mereka tak kenal usia. Semua yang mencurigakan, termasuk anak-anak yang bahkan tak kenal apa itu pemberontakan, ditangkapi. Keadaan inilah harus selalu diingat-ingat dan diresapi, agar kita sebagai calon pemimpin masa depan tidak terjerembab dalam lubang yang sama.
Komentar
Kirim Komentar