Nnna mmma...
Rahmi Syalfitri Riska
Namai saja dia Duba. Pelantun tembang-tembang aneh di polongan tepi jalan. Baginya, dunia ini dia saja isinya. Dia tak kenal duka, balada, kecuali lagu-lagu sendu yang tak jelas maknanya. Puluhan tahun sudah dia berlaku begitu. Tak ada yang menagah, tak ada pula yang melarang. Kalau dilarang, garang dia. Dia tidak suka diusik, disapa, apalagi ditanya. Kalau mau lewat, lewat saja di hadapannya. Jangan ragu-ragu dan jangan menatapnya lama-lama.
Sekilas tak ada yang berbeda, dia terlihat gagah, rapi, bersih seperti kebanyakan anak muda seusianya. Pintar pula dia bermain gitar, meracak sepeda motor, mencangkul ladang, memancing,dan meraup sajak dari apa yang dilihatnya. Tapi siapa sangka, ada yang "dipeliharanya" pada kelakuan aneh yang terkadang membuat orang bertanya-tanya. Siapa dia sebenarnya?
***
"Letakkan itu pelan-pelan, Sayang!" cegah perempuan berkerudung hijau muda itu pada anaknya. Bocah laki-laki itu memegang sebuah kater yang sudah berkarat di tangan kirinya.
"Berikan ke bunda ya, nak?" bujuknya.
"Nnna mmma," jawab bocahnya terbata.
"Nanti tangannya luka, berdarah."
"Nnna mmma."
"Mau tangannya begini?" tanyanya seraya memperlihatkan jari kelingkingnya yang masih dibalut perban.
"Nnna mmma."
"Tangan bunda kemarin luka, kena itu." Dia menunjuk kater. "Sakit."
Bocah itu lalu mengarahkan kater itu ke tangannya. Tepat pada urat nadinya yang membujur.
"Jangan, Sakti." Ia raih dengan paksa kater itu akhirnya.
Tangis Sakti memecah ruangan. Bocah yang dipanggil Sakti itu berteriak sekencang-kencangnya.
"Sudah Nak. Itu berbahaya." Perempuan itu mengusap pipi anaknya, merapikan rambutnya, mendekapkan ke peluknya. Diusap-usapnya punggung Sakti, mulutnya berkata juga, hingga tangis Sakti mereda.
Sudah empat tahun ia merawat pangeran kecilnya itu. Tapi Sakti belum juga pandai bicara. Apapun sudah dilakukannya. Berobat kemana-mana, tapi tak ada hasilnya. Tetap saja yang diucapkan Sakti hanya Nnna mmma.
Namun meski keadaannya begitu, semua orang tetap menyayangi Sakti. Terlebih lagi Dantara, adik ibunya yang masih membujang. Bahkan ia menyayangi Sakti lebih dari ibu dan ayahnya. Meski dia tahu, Sakti belum bisa bicara.
***
"Ini Madan belikan untuk Sakti," ujar Dantara sambil membawa gitar plastik siang itu. "Cara mainnya begini." Dantara lalu memetik-metik dawai nilon di hadapan Sakti, sambil menyanyikan lagu-lagu kecil.
"Nnna mmma," celetuk Sakti. Seperti sudah paham apa arti nnna mmma yang diucapkan keponakannya, Dantara lalu menyerahkan gitar itu ke tangan Sakti. Sakti girang bukan main. Dirapatkannya gitar pemberian Dantara ke dadanya.
"Ayo, mainkan."
"Nnna mmma."
"Tangan kiri di sini, tangan kanan begini." Dantara mencontohkan, diikuti Sakti. Sesekali dia ber-nnna mmma-nnna mmma, lagu yang diciptakannya sendiri. Dantara bertepuk tangan melihat Sakti sudah bisa memetik gitar dan bernyanyi, karena Dantara tahu, tak hanya nnna mmma sebenarnya lirik lagu yang dinyanyikan Sakti.
Dantara belum menikah. Bukan karena tidak ada yang mau, tapi karena dia yang belum mau. Kakak-kakaknya ada yang gagal dalam membina rumah tangga. Ada-ada saja sebabnya: istri, ipar, mertua. Dua tahun yang lalu kakak laki-lakinya meninggal dunia, sudah lima bulan tinggal berpisah dengan istrinya. Tak ada yang tahu kalau dia sakit, meninggal.
Dantara anak bungsu, sedangkan bunda Sakti anak pertama. Berempat mereka beradik kakak, hanya bunda Sakti satu-satunya perempuan. Makanya Dantara begitu menyayangi Sakti, serasa anak kandungnya pula bocah itu.
Sudah tiga bulan ayah Sakti tidak pulang, bertengkar dengan istrinya. Ayahnya berasal dari kampung nelayan, tapi dia bukan nelayan. Ia seorang akuntan. Wataknya keras, gampang marah. Emosinya kerap meluap-luap.
Di depan Sakti tak segan-segan dia membentak istrinya. Anak sekecil Sakti memang tak paham apa yang sedang dilakukan ayah dan ibunya. Tidak tahu tentang perselisihan dalam rumah tangga. Tapi dia tahu bundanya tidak suka. Jadi Sakti cuma bisa menangis bila ayah dan bundanya mulai tidak akur seperti jam dinding kehabisan baterai.
"Tak perlu bersedih hati. Biarkan saja dia pergi," bisik Dantara pada kakaknya.
Dantara memang lebih dekat dengan bunda Sakti dari pada dengan saudara-saudaranya yang lain, dari dulu. Waktu Dantara masih sekolah, bunda Sakti yang mengantarnya, memberinya jajan, menunjukkan PR, menjemput rapor, dan banyak lainnya.
Jika ada masalah, mereka tanggung berdua. Dantara kerap menceritakan tentang gadis-gadis yang disukainya pada bunda Sakti. Meminta pendapat kakaknya: baik atau tidak, cocok atau tidak, sepadan atau tidak. Kalau kakaknya tidak berkenan, berhenti dia. Suatu kali dia pernah menyukai guru SD. Menurut kakaknya pas, tapi malangnya bu guru sudah keburu kawin dengan yang lain.
Bunda Sakti juga pernah mengenalkannya pada seorang pemilik toko bunga. Ia cantik dan pandai. Tapi Dantara pula yang tidak kena hati. Begitu saja terus, hingga sampai sekarang, di usianya yang ke tiga puluh satu, dia belum juga menikah.
***
Sakti makin menggilai gitar plastik pemberian Dantara. Siang ini Sakti memakai switer kuning gading, yang juga dibelikan Dantara beberapa waktu lalu. Ia duduk bersandar di belakang rumahnya memandangi danau dan bukit-bukit. Mempelajari bahasa alam, seperti apa yang telah diajarkan Dantara padanya. Dipetik-petiknya terus nilon gitar. Tatapannya kosong. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Merah putih di seberang berkibar-kibar, di sekolah satu atap yang baru seminggu lalu diresmikan. Seorang nelayan bertopi kulit melempar jaringnya, oleng biduk nelayan itu. Lenggok dedaunan bernyanyi, mengiringi petikan gitar Sakti.
"Nnna mmma," ucap Sakti pada dirinya. Dia merasa tempat duduknya berguncang. "Nnna mmma." Dinding rumahnya juga bergetar. "Nnna mmma." Getarannya makin kencang.
Sakti berdiri. Guncangan itu mengamuk. Dinding rumahnya meretak, tanah merenggang.
"Nnna mmma." Sakti berteriak. Berlari menuju bundanya yang tadi sedang meniup balon bersama Dantara di ruang tengah.
"Nnna mmma." Ia berlari menuju pintu rumah. Tapi pintunya tidak bisa dibuka.
"Nnna mmma... nna mmma... nnna mmma." Ia yakin tidak ada yang menguncinya dari dalam. Barangkali engselnya jatuh karena guncangan kuat barusan. Dipukul-pukul, didorong-dorongnya pintu itu sekuat tenaga. Sekuat dia menahan air matanya. Hingga akhirnya dia terlelap dan bangun bersama kisah pilu yang tak kan terlupa dilalap masa.
***
"Sudahlah, Nak. Jangan menangis." bujuk nenek pada Sakti.
"Nnna mmma,"balas Sakti lirih. Dia tidak tahu apa itu gempa. Dia belum kenal kematian. Baginya, bunda dan Dantara hanya sedang istirahat karena letih meniup balon ulang tahunnya yang akan dirayakan esok pagi.
Sakti menolak dan meraung sejadi-jadinya saat jenazah bundanya dan Dantara dimasukkan ke liang lahat. Beberapa kali dia mencoba melompat, tapi ditahan nenek.
Timbunan tanah makin tinggi, menutup rapat-rapat bunda dan Dantara. Pada dua nisan tertulis nama mereka.
Pesta ulang tahun besok pagi sudah mengabu. Dia benci itu. Jika saja mereka duduk bertiga di belakang rumah, tentu bunda dan Dantara tidak akan tertimbun runtuhan gempa. Sakti memeluk gitarnya kuat-kuat dan menyilangkan kedua tangannya ke dada. Ini dianggapnya sebagai tangan bunda dan Dantara yang kini memeluknya.
***
Sakti terbangun, menyeka air mata lalu menyeringai, bahagia dia. Itu mimpi buruk yang memutar kembali memorinya. Sekaligus mimpi terindah sejak orang-orang memanggilnya Duba. Sesaat, kerinduannya pada bunda dan Dantara terobati pagi ini.
Dipetiknya gitar, "Nnna mmma, nnna mmma, nnna mmma," merasuk lambat-lambat ke jiwanya. "Terima kasih bunda, terima kasih Madan Dantara. Tenanglah di surga."
Tak ada yang tahu, tak ada yang paham arti nnna mmma yang selalu dibunyikannya. Orang-orang menyangkanya gila. Padahal tidak. Dia hanya sedang berdoa. Selalu berdoa, untuk bunda dan Madan Dantaranya.
SELESAI
Komentar
Kirim Komentaragustina karyati
12-05-2015 03:12 WIB