Pendidikan; Degradasi Kejujuran
01-04-2014, 11:48 WIB
Hera Gusmayanti
"Jika kamu pikir pendidikan itu mahal, cobalah kebodohan."
Pendidikan bak harga mati. Jika tidak mengecap pendidikan, maka bersiaplah dibayangi kebodohan. Buta oleh kejam dan kerasnya persaingan. Semua dapat diselesaikan, semua dapat teratasi dan semua mempunyai solusi atas tiap-tiapnya. Kadang dalam banyaknya polemik kehidupan, pendidikan sering menjadi lentera, penerang jalan keluar setiap permasalahan hidup dan kehidupan duniawi dan akan disusul oleh kekalnya kehidupan akhirat.
Bak kata pepatah, tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat. Bahwa pendidikan untuk semua tanpa terkecuali, dan tanpa batas. Itulah sebab pendidikan menjadi hak bagi setiap warga negara, baik yang kaya maupun yang miskin. Negara memiliki tugas mulia untuk menyediakan pendidikan bagi setiap warganya, khususnya membantu warga negara yang tidak mampu.
Memang tak dapat dipungkiri, untuk mengenyam pendidikan membutuhkan harga yang tak terbilang murah. Mahalnya biaya pendidikan terkadang menghambat hak seseorang untuk memperoleh pendidikan. Seperti halnya di negara ini, tidak sedikit rakyat Indonesia yang langkahnya terhenti untuk mengecap pendidikan hingga jenjang tertinggi, khususnya bangku kuliah. Hanya segelintir orang saja yang mampu mendapatkannya.
Dalam hal ini, beasiswa bidik misi hadir menjawab keraguan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas. Beasiswa bidik misi adalah beasiswa dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) yang diberikan kepada mahasiswa berprestasi dari kalangan tidak mampu. Program beasiswa ini merupakan solusi yang sangat membantu masyarakat kurang mampu dan berprestasi agar tetap bisa mengenyam pendidikan di bangku kuliah. Dengan diluncurkannya program beasiswa bidik misi, merupakan salah satu bentuk perhatian pemerintah pada pendidikan Indonesia. Terbukti selama lebih dari tiga tahun program ini berjalan, 90 ribu mahasiswa kurang mampu terbantu untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Namun benarkah hanya pelajar kurang mampu yang mendapatkan beasiswa bidik misi? Atau justru banyak pelajar miskin "jadi-jadian" yang menjadi penerima beasiswa tersebut? Mahasiswa miskin yang sebenarnya mampu dalam hal finansial tetapi mengaku miskin demi mendapatkan beasiswa bidik misi.
Di Universitas Hasanuddin terdapat kasus mahasiswa yang mengaku-ngaku miskin. Dikutip dari sumber info dikti, Idrus Paturisi selaku ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) menyebutkan kasus serupa juga ditemukan sebelumnya di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Cerita serupa juga terdengar dari Universitas Negeri Makasar (UNM). Bersumber dari portal berita UNM tersebut, anak dari seorang kepala sub bagian kemahasiswaan, Fakultas Bahasa dan Sastra UNM, mendapatkan beasiswa yang notabenenya untuk masyarakat kurang mampu.
Miris, jika penerima beasiswa bidik misi berasal dari golongan menengah atas. Sedangkan fasilitas mewah mampu diberikan orang tua mereka. Lalu, dengan seolah tanpa berdosa mereka menjadikan beasiswa bidik misi sebagai uang jajan atau budget untuk berbelanja. Sementara di luar sana banyak mahasiswa miskin yang tak mendapat haknya untuk mengenyam pendidikan yang mungkin salah satu penyebabnya adalah karena tidak lolos seleksi beasiswa bidik misi.
Betapa banyaknya mahasiswa miskin yang gagal mendapat beasiswa bidik misi dikalahkan oleh mahasiswa miskin "jadi-jadian" dalam memanipulasi data ketika registrasi. Sungguh ironis. Atau inikah cerminan mental generasi muda bangsa Indonesia? Rela berpura-pura miskin demi mendapatkan apa yang sebenarnya bukan haknya.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah tim yang bertugas menyurvei calon penerima bidik misi telah melaksanakan tugasnya dengan baik? Akankah, kasus salah penerima bidik misi ini tidak akan pernah terjadi lagi? Apakah mungkin survey hanya dilakukan pada tahun-tahun awal program ini berjalan? Sehingga di tahun berikutnya survey lapangan hanya dijadikan formalitas semata tanpa ada aksi kongkrit dari panitia penyeleksi.
Sedikit banyaknya, sekolah juga berperan sebagai perantara menciptakan situasi yang seperti ini. Misalnya dengan mengirim siswa mampu untuk mengikuti seleksi bidik misi jalur SNMPTN. Dilansir dari inilahkoran.com, untuk tahun 2012 saja tercatat sebanyak 100 sekolah telah melakukan kecurangan sedangkan untuk tahun 2014 ini terdata 140 sekolah yang melakukan kecurangan. Namun belum pasti berapa sekolah yang terbukti benar-benar bersalah karena pihak panitia masih melakukan verifikasi.
Fakta ini merupakan cerminan ketidakjujuran dalam pendidikan Indonesia saat ini. Seharusnya setiap orang sadar akan posisinya masing-masing. Peserta seharusnya sadar akan posisinya dan menjunjung tinggi kejujuran dalam pendidikan. Panitia juga harus sadar akan tugas dan kewajibannya untuk kemudian dijalankan dengan sepenuh hati.
Yakinlah jika setiap orang memiliki kesadaran dan kejujuran akan siapa dia, tak akan ada kejadian ironis di dunia pendidikan seperti sekarang ini. Selain itu pemerintah juga bisa memberikan sanksi kepada mahasiswa yang terbukti berbohong, dengan cara mencabut beasiswanya tanpa harus mengeluarkannya dari universitas. Sehingga mahasiswa tersebut tetap membayar uang kuliah sama seperti mahasiswa nonbidikmisi lainnya.
Kejadian mahasiswa miskin "jadi-jadian" ini telah mencoreng wajah pendidikan di Indonesia dan menambah rentetan panjang cerita suram masyarakat miskin di negeri ini. Mentalitas kita sedang berada di titik nadir. Kejujuran dalam pendidikan sedang dalam kondisi yang memprihatinkan, menohok ke dalam nurani, sungguh ironis. Masalah ini sebenarnya bisa diminimalisir dengan cara tetap mengontrol mahasiswa penerima bidik misi. Tidak hanya melakukan satu kali survey, bila perlu dilakukan berkali-kali survey agar data yang ada dengan kenyataan di lapangan benar-benar sama.
Jika pendidikan yang kita anggap sebagai sebuah tempat bergengsi dan murni, kini justru dicemari oleh tindakan tak terpuji oknum pendidikan itu sendiri. Lalu kemana kita sekarang hendak berkiblat. Apakah kejujuran sudah menjadi barang langka yang susah ditemui. Barangkali mahasiswa miskin "jadi-jadian" tadi adalah sebenar-benarnya orang yang miskin. Miskin akan nurani dan kejujuran. Tidakkah ada rasa bersalah yang timbul dalam masing-masing hati mereka saat mendapati diri berada dalam posisi yang tak seharusnya? Untuk itu, menanamkan kesadaran akan pentingnya kejujuran pada generasi muda perlu dimulai sejak dini. Karena pada akhirnya semua kembali kepada kita. Apakah kita akan tetap melanjutkan sesuatu yang salah, atau akan meluruskan sesuatu yang belok.
Komentar
Kirim Komentar