Pesta Elit Politik
Meri Susanti
Tahun 2013 dengan segala kompleksitas permasalahannya akan segera berakhir. Secara tidak langsung, tahun depan seolah memberi kita harapan akan seorang pemimpin yang lebih baik. Harapan akan sebuah pemerintahan baru yang akan menyelesaikan sengketa mendalam yang terjadi di bidang soisal, ekonomi, politik di ranah Indonesia ini. Mengakhirinya dengan berharap pemimpin masa depan jauh lebih baik.
Tahun 2014 memang menjadi yang teristimewa, sebab pada tahun ini, akan diadakan pesta demokrasi bagi para elit politik. Demi hal baru, yakninya pemimpin baru yang melakoni perpolitikan agar dapat memberikan perubahan terhadap gemelut permasalahan seperti tiada henti melanda negeri ini.
Rakyat masih berharap dan percaya kepada mereka yang akan bertarung untuk memimpin negeri ini. Memiliki cara pandang tersendiri dengan gaya memimpin serta ketegasan baru demi menyembuhkan berbagai penyakit birokrasi yang mulai akut.
Katanya, ini adalah sebuah pesta yang akan menentukan baik buruknya wajah pemimpin Indonesia kedepannya. Bukan sebagai elit politik, kita seolah menunggu dengan biasa saja siapa yang akan maju kedepan. Dan sebagian dari rakyat lainnya hanya akan berdiam tanpa banyak peduli akan pergejolakan yang telah memanas diantara mereka yang akan menempati istana negara tertanda April 2014 mendatang.
Betapa pun, dan seberagam apa pun pandangan masyarakat Indonesia, mau tidak mau pesta demokrasi memang akan segera hadir diseluruh lapisan masyarakat di berbagai pelosok tanah air.
Tentu saja kekurangan dan kelemahan yang timbul dalam demokrasi, sejatinya dilakukan dengan antusias dan lapang dada, karena bangsa kita masih dalam tahap belajar dalam demokrasi, seperti dikatakan Samsu Rizal Panggabean (h. 29) Masyarakat demokrasi, dalam dirinya menyimpan kemungkinan totalitarianisme di dalam struktur politiknya. Karena dalam demokrasi segalanya dipercakapkan di ruang publik. Demokrasi sebagai sikap hidup yang menghendaki adanya kemungkinan alternatif pilihan-pilihan yang cukup banyak menuntut suasana yang memungkinan orang untuk tidak melihat sesuatu sebagai serba sempurna, begitu juga halnya dengan pemilu.
Pemilu ini memang merupakan suatu ajang bagi calon kandidiat untuk melakukan komunikasi politiknya dengan berbagai cara. Dengan diseduhi jurus-jurus jitu pemikat hati rakyat, terutama mereka yang jelata dan minus dari segi sosial, pendidikan, dan ekonomi. Berbagai macam cara dilakukan, seperti halnya kampanye, diskusi, blusukan, penyogokkan, serta melakukan wawancara mendalam kepada masyarakat luas lewat berbagai media seperti halnya media elektornik dan cetak demi menarik simpati masyarakat Indonesia.
Pemilu 2014 merupakan ajang memperebutkan kedudukan sebagai orang nomor satu di bumi pertiwi. Tentu saja para calon kandidat yang akan terpilih melakukan berbagai macam cara untuk memperebutkan kursi kekuasaan di Republik Indonesia.
Mungkin saja, pemilu 2014 benar-benar ditunggu oleh sebahagian lapisan masyarakat untuk memilih calon pemimpin yang tepat, bukan mereka yang mampu berkata-kata manis nan mendayu-dayu saja tapi nihil aplikasi dan pada akhirnya menjadi janji-janji yang terbang bersama ilusi.
Permasalahan ini lah, kehiruk-pikukannya pesta perpolitikan nasional akhir-akhir ini. Menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap partai politik malah akan menyebabkan apatisnya masyarakat terhadap pemilu itu sendiri. Masyarakat semakin tidak peduli lagi dengan pemilu.
Mereka akan tak acuh terhadap heroik elit politik yang mengatas namakan ini sebagai sebuah pesta. Ya, pesta bagi mereka tapi ‘kesakitan’ bagi rakyat kecil. Mereka semakin dijajah oleh keadaan. Kondisi sosial ekonomi mereka diperalat bagi pelaku politik untuk menyukseskan jalannya.
Hal ini hendaknya menjadi perhatian penuh bagi seluruh komponen pemilu, baik pemerintah maupun KPU sebagai penyelenggara pemilu. Partai politik sebagai peserta pemilu dan elemen masyarakat peduli pemilu juga harus ikut menuntaskan krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemilik kuasa dinegeri ini.
Tingkah pola para elit politik yang diberitakan oleh media akibat ulah kotor mereka, seperti korupsi dan sederet kebobrokan yang dilakukan oleh mereka telah melukai hati rakyat. Menghilangkan kepercayaan serta memilih tak peduli lagi dengan calon para pemimpin yang akan meneruskan estafet pemerintahan di masa yang akan datang.
Hal ini semakin diperparah oleh praktek-praktek kecurangan jelang pelaksanaan pesta demokrasi lima tahunan itu, seperti praktek money politik, intimidasi, dinasty politik dan sebahagian moral para caleg yang busuk.
Jika hal ini terus terjadi maka kehidupan berdemokrasi di bangsa dan negara kita ini akan hancur, dimana yang berlaku hanya demokrasi prosedural dan mengabaikan subtansinya. Untuk mencegah hal demikian, dibutuhkan mental masyarakat yang kuat, sehat dan menjadi pemilih yang cerdas.
Ketika masyarakat cerdas dalam menentukan pilihan barulah pemilu tersebut dapat dikatakan berkualitas karena tentunya nanti akan terpilih pemimpin yang bersih, amanah, berwibawa punya integritas dengan visi dan misi yang memihak kepada seluruh kepentingan masyarakat.
Yang kita harapkan, kandidat terpilih nantinya memang benar-benar mewakili kepentingan rakyat yang sebenarnya, bukan kepentingan pribadi kelompok atau golongannya. Apalagi hanya untuk memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri sendiri. Bukan mereka yang melanggar amanah yang diberikan rakyat itu dipertanggung jawabkan kepada bangsa dan negara serta Tuhan YME.
Besar harapan kita, sebagai peserta dari perhelatan akbar yang akan digelar nanti tidak berakhir dengan kesia-sian dan penambah deret pemimpin yang seakan tak memahami atau tak memiliki kemampuan berempati pada denyut nadi rakyat di Indonesia.
Memang telah sepatutnya kita mencerdaskan diri, bahkan berbagi kecerdasan demi calon pemimpin yang akan mengerakan roda pemerintahan tanah air.
Komentar
Kirim Komentar