Kapitalisme Dunia Pendidikan
30-12-2013, 10:51 WIB
Edo Febrianto
Pada zaman kolonial, sekolah formal di Indonesia didirikan sebagai mesin produksi Ambteenar(pegawai negeri) Pemerintah Hindia Belanda. Mengutip Pramoedya, sekolah formal kala itu hanya melahirkan manusia bermental ‘jongos dan babu’. Rupanya, kondisi semacam itu diwariskan sampai sekarang, ketika sekolah formal berada dalam sistem masyarakat kapitalis-industri (Anton Novenanto).
Modernisasi membuat manusia harus saling berkompetisi. Menemukan kepuasan terhadap kesejatian pencapaian kehidupan, berbagai upaya pernah diuji cobakan. Tak terlepas di dalamnya pendidikan. Kapitalisme telah menjajah dan masuk ke dalam sistem pendidikan. Hal ini telihat dari kebanyakan pemilik modal menjadi pengendali serta penguasa atas keberlangsungan pendidikan. Bahkan cara pandang masyarakat pun, akhirnya berhasil diubahnya.
Cara pandang berbasis kapitalisme mendorong masyarakat mengakumulasikan kapital demi keuntungan pribadi. Bagaimana mungkin cita-cita leluhur tentang pendidikan sebagai pencipta pribadi yang memiliki kecerdasan emosional, intelektual serta keterampilan kini terabaikan.
Kapitalisme dalam penyelenggaran pendidikan akan dikuasai oleh pemilik modal sebagai pembuat kebijakan-kebijakan yang merubah pola pikir masyarakat, sehingga pendidikan hanya diarahkan untuk mencari lapangan pekerjaan semata. Seperti yang kita tahu, paham kapitalisme menyatakan bahwa pemilik modal dapat melakukan semua usaha demi meraih keuntungan secara personal (pribadi). Jika kapitalisme masuk ke sekuler pendidikan, maka tujuan dasar dari pendidikan akan bergeser dari mencerdaskan atau memanusiakan manusia menjadi sebuah bisnis pasar.
Manusia tengah disibukkan untuk meraih pendidikan setinggi-tinggi mungkin, yang tujuannya memperoleh suatu pekerjaan sebagai penunjang hidupnya. Namun, oleh sebagian orang, pendidikan diikuti hanya sebatas iming-iming ijazah sebagai salah satu syarat untuk melamar pekerjaan. Hal ini membuat arti sekolah yang dulunya sebagai tempat pertumbuhan karakter manusia sekarang berubah fungsi sebagai tempat untuk mendapatkan ijazah. Sehingga tradisi menyontek, plagiat, serta menyuap menjadi hal yang biasa dilakukan oleh para pelaku pendidikan.
Dunia pendidikan sekarang telah diatur sedemikian rupa oleh pemilik modal untuk sebatas mengikuti peraturan saja. Seperti sekolah enam kali pertemuan dalam satu minggu, ditambah dengan sekolah sore, bimbel, kursus, dan lainnya. Siswa hanya disibukkan dengan dunia pendidikan formal. Kebijakan pendidikan hanya diarahkan menuju profesi ataupun keahlian yang cocok untuk tujuan kapitalis.
Seperti yang digalakan oleh mereka yang berpengalaman, pendidikan memang menjadi harga mati untuk pengembangan daya guna manusia. Namun, pendidikan dengan paham kapitalisme membuat pendidikan tidak lagi dalam konsep sebenarnya. Pendidikan seharusnya menjadi wadah menuju kemerdekaan, sebagai pembebasan serta kekuatan penggugah untuk melakukan perubahan dan pembaharuan. Akan tetapi, pada kenyataannya pendidikan malah menitikberatkan kepada sistem-sistem yang telah dibuat, sehingga esensi pendidikan berubah menjadi bebasterikat.
Kapitalisme di dunia pendidikan juga menyebabkan timbulnya kelompok masyarakat yang dibedakan berdasarkan status sosial dan ekonomi. Dengan kekuasaan terhadap kebijakan yang dimiliki pemilik modal akan merubah sistem pendidikan. Baik itu dari aspek ekonomi, seperti biaya pendidikan maupun sosialnya. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan-kesenjangan, bahwa pendidikan yang berkualitas hanya dapat dinikmati oleh sekelompok masyarakat yang berpenghasilan lebih.
Peserta didik diperlakukan sebagai konsumen dalam sistem bisnis pasar. Perbedaan biaya sekolah yang berbeda-beda menyebabkan pendidikan yang diperoleh pun menjadi tidak merata. Semakin besar kemampuan membayar konsumen, maka semakin besar pula kesempatan untuk mengakses lembaga pendidikan bergengsi dengan kemewahan fasilitas.
Selain itu, kapitalisme menjadikan pendidikan sebagai proses yang tidak memanusiakan manusia serta hanya akan menyebabkan solidaritas berkurang. Apabila pendidikan tetap bertahan dengan konsep kapitalisme, akan melahirkan manusia individual yang cenderung bersaing demi ego pribadi. Sebagai contoh, sistem pendidikan sekolah yang saat ini hanya diarahkan kepada persaingan. Persaingan yang meningkat hanya akan menyebabkan seseorang menjadi pribadi yang kurang bersahaja (hanya mengutamakan daya saingnya namun tidak mengenal lawannya).
Cerahnya masa depan memang harus setimbang dengan usaha yang dilakukan. Begitu juga halnya dengan pemburu ilmu yang hanya mengidamkan kedudukan. Mungkin saja bagi mereka berburu ijazah adalah cara untuk memperoleh kehidupan sosial yang mereka anggap layak. Kembali ke realitas, bahwa manusia dalam menuntut ilmu memang ingin bermuara pada sebuah gelar dan pekerjaan yang menjanjikan. Mau tidak mau, mereka tetap akan menerima bagaimana pendidikan kapatalisme itu bekerja.
Kapitalisme dan pendidikan memang sudah melekat dengan erat. Untuk melepaskannya tidaklah mudah. Permasalahn kapitalisme pendidikan ini menjadi tugas tambahan bagi pemerintah. Melihat begitu pentingnya pendidikan bagi manusia, tidak sepatutnya kita berlama-lama dalam kondisi seperti ini. Perlu adanya pemikiran kritis manusia yang mampu mengkritisi kebijakan-kebijakan yang sekiranya, telah jauh melenceng dari hakikat pendidikan itu sendiri. Untuk itu diharapkan, manusia yang memiliki pendidikan itu adalah manusia-manusia yang memiliki kesadaran kritis, kesadaran yang mampu merubah situasi sosial yang cenderung ke arah merugikan ini.
Komentar
Kirim Komentar