Kembara
Rio Rinaldi
Ketika pagi tiba, ia berkaki empat. Ketika tengah hari tiba, ia berkaki dua. Ketika senja melanda, ia berkaki tiga, bermata empat, dan giginya tinggal di luar. Ia bukan binatang. Tapi pada setiap masanya, ia bisa saja jadi binatang.
Akhirnya, pada Rabu pagi yang lumayan sendu, melalui tangan seorang dukun beranak, hari itu tuhan berhasil menyelamatkan nyawaku. Ibuku, perempuan tegar dengan peluh tapi semangat yang tak pernah runtuh, juga berhasil menyelamatkanku setelah sembilan bulan kurang sepuluh hari lamanya aku bersarang di rahimnya. Kini, aku dapat berteriak sekeras-kerasnya menyapa bumi yang kau sebut Indonesia. Menyapa tanah yang kerap kau panggil bumi pertiwi. Ibuku memandangku dengan manis sambil berbisik, "Selamat datang ke dunia ini, anakku. Selamat datang ke Indonesia. Kuberi nama kau Kembara."
Waktu bergerak, seirama seperti jam tua selalu berdetak ketika aku mulai belajar merangkak. Di pagi itu pula, aku belajar untuk mengenal angin segar. Aku mulai mengenal mata dan langit yang bersinar. Aku mulai mengenal air yang memencar. Aku mulai mengenal keiklasan yang lebar. Dan sejak itu pula aku belajar tentang arti sebuah kehidupan yang tegar. Dari ibu, dari kehidupan dan nasib yang begitu kasar.
Dua puluh tahun kemudian, aku tumbuh dan dewasa. Aku tumbuh menjadi seorang anak yang pintar. Wajahku tampan. Otakku jenius. Barangkali juga terlalu pintar untuk anak seusiaku pada saat itu. Sebab itulah, seluruh teman-temanku menaruh rasa segan dan hormat kepadaku. Meskipun ibuku beruntung aku sudah menamatkan sekolahku sampai tingkat menengah atas, ada kerikil-kerikil tajam yang masih menyumbat hatinya. Sebab, untuk masuk ke universitas negeri saja sekarang sudah setengah mati rasanya. Sementara, ia ingin anaknya sepeti anak yang lain. Bagaimana akan berkuliah seperti orang-orang, untuk makan saja susah. Begitu kata hatinya ketika memandangku yang termenung bawah cahaya rembulan.
Siang pun pecah, dan begitu pun rasa marah yang segera ingin buncah, aku memilih cara sopan untuk permisi pada ibu, dengan alasan klise kukatakan bahwa aku mencari angin segar keluar rumah. Angin segar? Apakah kehidupan pernah menghembuskan angin segar?
Ah, paling tidak aku bisa menyaksikan apa yang bisa kusaksikan. Entah itu karena aku ingin angin menebas segala pikiran mengenai nama-nama universitas yang masih setia bergelayut, entah karena setan-setan gelap dipikiran juga harus segera hanyut.
Lalu apa yang membuat pikiran-pikiran setan ini seketika lenyap hanyalah sederhana, sesederhana kesibukan yang ditanggapi orang-orang kota. Kesibukan yang sederhana sekaligus berbahaya, begitu aku ingin menyebutnya. Pandangan dan kepala-kepala manusia terlihat begitu pongah. Setelan pakain kerja, jaket almamater kebanggaan, pelayan serta penjual sapu tangan yang kesepian.
Sibuknya ibu kota ini hingga orang-orang di dalamnya lantas begitu saja melupakan cara sujud di keningnya. Lupa membasahi wajah ataukah mungkin pikiran-pikirannya yang terlalu sesak oleh merek-merek, Kau tau, mungkin karena begitu banyak spanduk-spanduk besar menggiurkan di sepanjang jalan ketika mendongakkan kepala.
Lantas, seperti cerita-cerita sinetron yang kerap ditemui dalam televisi, ketika aku duduk di pinggir jalan membayangkan sesuatu yang tidak jelas, sesuatu yang makin dipahami semakin absurd, seorang lelaki tua sekonyong-konyong hadir menghampiri lalu duduk di sampingku.
"Apa yang tengah kau risaukan anak bujang?" sapa lelaki tua itu sambil membakar sebatang puntung rokok yang tertancap di mulutnya.
Lamunanku terpecah seketika.
"Apa yang sesungguhnya yang dikau cari? Semua sudah ada perannya."kata lelaki tua itu kembali menyela.
"Tapi aku belum menemukan peranku." Kataku menjawab pertanyaannya.
"Sebetulnya sudah." Katanya sambil mengepulkan asap ke udara pelan-pelan.
"Kalau memang sudah, peran apa yang tengah kumainkan, Kek?"
"Kau telah berperan menjadi dirimu sendiri."
"Bukankah di dalam sebuah drama kita harus bermain peran? Bukan diri kita sendiri."
"Benar, inilah peran. Peran yang semestinya kau mainkan. Aku pun juga tengah memainkan peranku sendiri. Anak muda, buka matamu. Lihat di depan cermin. Tanyakan, peran apa yang tengah kau mainkan."
"Atau jangan-jangan barangkali aku tidak kebagian peran, Kek?"
"Ha, ha, ha. Memangnya kau ini siapa? Kaki tangan tuhan? Jangan berpikir yang bukan-bukan." Kata lelaki tua itu tertawa kecil sambil menepuk pundakku. Entah hati ataukah tangannya, aku merasa sangat dingin saat itu juga.
Aku pandangi lelaki tua itu dengan tajam. Sepertinya ia lebih tahu dariku tentang apa artinya kehidupan.
"Dengar anak muda, perkara kau tengah memainkan peran apa itu tidak penting sekarang. Yang penting sekarang adalah bagaimana kau memainkan peran itu sebaik-baiknya. Aku, sehat seperti sekarang karena aku memainkan peranku apa adanya. Dan aku bahagia seperti sekarang juga karena aku memainkan peranku apa adanya.
"Improvisasi itu perlu, asal jangan berlebihan. Paham?" kata lelaki tua itu sambil menghadapkan wajahnya ke arahku.
"Improvisasi, Kek?"
"Ya, kata-kata itu sering kudengar di televisi ketika aku menumpang menonton di warung kopi Wak Ujang. Dan ketika aku bertemu berpapasan dengan seorang mahasiswa di jalan, aku selalu bertanya arti kata itu padanya.
Lelaki itu terbahak-bahak ketika kembali membayangkan hal itu. Aku terkejut mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari mulut lelaki tua itu. Sambil menghisap puntungnya yang sudah hampir habis, ia kembali berpetuah.
"Lihat itu polisi yang lewat. Dia tengah memainkan perannya. Bagaimana ia memainkan perannya, itu tergantung bagaimana jiwanya. Jiwanya adalah sutradara kecil yang mengatur perannya. Apa dia mau jadi superhero bagi masyarakat atau bahkan ingin jadi penjahat. Tidak hanya dia, presiden, pejabat, dosen, guru, atau bahkan anak sekolah. Mereka tengah memainkan peran mereka sendiri."
Ketika ia tengah membicarakan seorang aparat yang liwat, tiba-tiba di hadapan kami juga melintas seorang lelaki berpakaian PNS sambil mengendarai sepeda motor dengan cepat.
"Nah lihat itu sekarang. Dia juga tengah memainkan perannya."
"Peran apa yang dia mainkan, Kek? Apa dia juga bisa jahat?"
"Bisa jadi. Tergantung bagaimana dia memainkan perannya. Sebab, di panggung sandiwara tidak tertutup kemungkinan seorang tokoh bisa saja berubah-ubah perangainya."
"Tritagonis."
"Apa itu? Sejenis makanan lezat? Kata-kata itu baru kudengar."
"Bukan, bukan,"
"Sejenis minuman segar?"
"Tidak, tidak."
"Berbentuk perangai?"
"Bisa jadi, bisa jadi."
"Ah, peran"
Lelaki tua itu senang. Ia menghisap puntungnya dengan panjang sekali. Lelaki tua itu menyeringai setelah tidak sadar puntung rokok yang sudah sebesar kukunya itu membakar bibirnya. Tapi ia berhasil menebak pernyataan yang kulontarkan tadi.
Ketika ia berhenti menyeringai, tiba-tiba kulihat seorang pemuda seumuran denganku menghampiri tiap mobil-mobil yang berhenti di lampu merah, di ujung sana sambil menggelitik gitar yang ditentengnya.
"Lalu kalau dia itu tengah memainkan peran apa, Kek?" Tanyaku sambil menunjuk ke arah seberang jalan tempat di mana pemuda itu menjual suaranya.
"Dia itu sama sepertiku. Cuma dia lebih beruntung sedikit."
"Apa sebab, Kek?"
"Coba kau bayangkan, bila di dunia ini tak ada nada-nada yang dinyanyikan orang-orang seperti dia, dunia ini jadi sepi. Hanya saja dia tak seberuntung musisi yang numpang tenar ketika di ekspose media."
"Lalu bedanya dengan Kakek?"
"Kalau di Indonesia tak ada lagi pengemis sepertiku, lalu kerja pemerintah selanjutnya apa? Lalu di mana peran orang-orang kaya? Kalau tak ada lagi kemelaratan lantas apa yang akan diperjuangkan oleh anggota dewan? Bisa-bisa mereka itu semakin jauh dengan kita dan semakin sibuk pada proyek pembangunan saja. Bahkan kau lihat sekarang, banyak yang terpenjara dalam kemiskinan dan begitu sulit lepas untuk mendapatkan kemerdekaannya sendiri. Tapi walaupun begitu, kau tak boleh lupa dengan peran apa yang tengah kau mainkan. Boleh improvisasi asal jangan berlebihan. Paham," Kata lelaki tua itu lantang sambil menantang mataku dalam-dalam.
Aku jadi tertegun. Aku menunduk. Aku setuju. Aku seperti mendapatkan sesuatu pelajaran yang luar biasa hari itu.
Ketika aku ingin menceritakan bahwa tadi malam aku bermimpi menikah dengan seorang gadis yang begitu cantik dengan rambut yang disanggul seperti calon istri raja. Ketika aku menjabat tangan ayahnya dan aku mengikrarkan janji. Dan ketika aku ingin kembali bertanya peran apa yang akan kumainkan, lelaki itu menghilang.
Aku tertegun.
Padang, 29 Oktober 2013
Untuk Alm. Amris Nura
Komentar
Kirim Komentar