Atas Nama Keyakinan, Dendam dan Tugas Negara
Novi Yenti
Judul Buku : Pengakuan algojo 1965
Penulis : Kurniawan et al.
Penyunting : Arif Zulkifli et al.
Cetakan : September 2013
Ukuran : 14 cm x 21 cm
Tahun terbit :2013
Penerbit : PT. Tempo Inti Media Tbk.
Akhir-akhir ini siapa yang belum pernah mendengar The Act Of Killing (Jagal)? Sebuah dokumenter garapan sutradara film Amerika Serikat, Joshhua Oppenheimer ini bercerita seputar pembantaian PKI dan simpatisannya di tahun 1965. Seolah membawa kita kembali pada peristiwa sejarah, dimana konon katanya, "siapapun pada saat itu bisa menjadi korban".
Jagal kemudian hadir, mungkin dengan tujuan mulia agar masyarakat Indonesia bukan hanya sekedar menjadi Indonesia, namun tidak tahu sejarah di balik terbentuknya sebuah Indonesia.
Film ini, pada akhirnya sedikit akan membuat otak berputar dari pikiran-pikiran lama yang selama ini masih dan secara tidak sengaja kita pelihara. Sehingga tak ayal, gambaran PKI yang dulu kita anggap hantu, berubah (mungkin) bahwa yang biadab sebenarnya bukan hanya PKI.
Bagaimana tidak, pembantaian PKI dan para simpatisannya dipertontonkan dengan telanjang melalui pengakuan-pengakuan algojo yang dengan heroik membunuh siapa saja yang mereka anggap PKI, setidaknya berhubungan dengan PKI atau golongan kiri.
Kebrutalan para algojo seketika menghabisis para awak PKI tak hanya disajikan dalam film the Act Of Killing (jagal). Hasil liputan investigatif tempo yang berhasil dirangkum dalam buku berjudul "Pengakuan Algojo 1965, Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965" juga menelanjangi perlakuan algojo terhadap PKI dan simpatisannya.
Melalui Tempo, para mantan algojo tahun 1965 bercerita bagaimana mereka menghabisi nyawa para PKI dan simpatisannya. Tanpa menimbang dosa, pembantaian dilakukan atas dasar dendam pribadi, keyakinan dan tugas Negara. Uniknya, dari seluruh cerita para algojo yang dijadikan narasumber mengaku tak merasa takut dan merasa bersalah pada tindakan yang dilakukannya.
Seperti ungkapan Burhan Zainuddin Rusjiman, sebagai salah satu bahasan dalam buku, mengatakan melakukan pembunuhan dengan prinsip ‘dibunuh atau membunuh’. Lelaki yang dulu bergelar Burhan Kampak-karena kemanapun selalu membawa kampak (kapak)-ini, akan menjagal siapapun yang diduga komunis dengan kampak sandangannya.
Kisah Burhan senada dengan pengakuan para algojo lain yang terangkum dalam buku dengan tebal 178 halaman ini. Terkecuali untuk Supardi. Pria 71 tahun yang dulunya penjagal awak PKI dan simpatisannya kini terpasung disebuah pondok belakang rumah orang tuanya ulah gila. Menurut saudaranya, Supardi menjadi tak waras pikirannya dua tahun pasca peristiwa pembantaian PKI, Supardi jadi brutal dan sering mengamuk. Namun kepandaiannya mengasah benda tajam sejenis pisau, celurit dan lainnya tak hilang.
Buku investigatif kru tempo ini tak hanya menghadirkan kisah jagal-menjagal para algojo 1965, perihal korban terbunuh peristiwa 1965 juga dibahas statistiknya. Perkara 1965 juga dijadikan bahan penelitian oleh mahasiswa. Jelas, para algojo menjadi subjek data penelitian. Pun Anwar Congo, penggagas film The Act Of Killing (Jagal). Menurut Joshua Oppenheimer dari hasil penelitiannya, Congo menganggap membunuh adalah bagian dari aktingnya.
Bagi masyarakat umum, buku ini mungkin hadir sebagai penimbang sejarah. Tidak banyak yang tahu mengenai bagaimana PKI ‘diselesaikan’ dulunya. Terlebih perkembangan zaman semakin membuaikan masyarakat hingga nyaris lupa pada sejarahnya.
Komentar
Kirim Komentar