Syahadat: Pintu Masuk Ajaran Islam
Sulaiman Arrasyid
Setiap umat Islam tidak ada yang tidak mengenal syahadatain atau dua kalimat syahadat. Ia berada pada urutan pertama sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan selain dari shalat lima waktu, zakat, puasa dan haji dalam rukun Islam. Sebagaimana yang ditegaskan dalam sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya:
"Islam dibangun atas lima perkara yaitu: bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak) disembah kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat menunaikan zakat, haji, dan Puasa Ramadhan."
Secara hirarkikal, syahadat diletakkan pada urutan pertama, tentu ada maksud syar’inya yang mengidentifikasinya secara khusus dari rukun yang lain. Maka timbul pertanyaan kenapa bukan shalat, puasa, zakat atau haji yang diletakkan pada urutan pertama? Hal ini perlu diajukan agar dapat memahami seberapa penting dua kalimat syahadat dalam konteks keislaman ataupun keimanan seseorang.
Pertanyaan tersebut sekaligus mengantarkan pada sebuah pemahaman mengapa seorang nonmuslim yang masuk Islam harus bersyahadat (bukan sekadar membaca syahadat). Masalah penting lainnya, memahami dua kalimat syahadat tidak hanya diperuntukkan bagi orang yang akan atau baru masuk Islam saja. Namun, juga penting bagi orang yang memeluk agama Islam sejak ia lahir.
Syahadat diletakkan pada urutan pertama, memberi isyarat bahwa ia merupakan pintu masuk ke dalam agama Islam. Oleh sebab itu, seseorang yang akan masuk Islam tidak diperintah terlebih dahulu untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan atau Haji ke Baitullah. Melainkan ia harus bersyahadat terlebih dahulu dengan bersaksi bahwa tiada ilah (yang berhak) disembah melainkan Allah, dan bersyahadat bahwa Muhammad adalah rasul (utusan) Allah.
Bersyahadat merupakan syarat utama seseorang untuk bisa mengerjakan amalan rukun Islam lainnya. Tidak diterima amal ibadah seseorang kalau tidak berdasarkan pada syahadat yang terpatri dalam qalbu, dinyatakan dengan lisan dan teraplikasikan dalam perbuatan. Selain itu, kesuksesan dalam memahami syahadat secara benar akan berimplikasi pada keberhasilan dalam menjalankan ibadah-ibadah mahdhah (ketentuannya sudah jelas dan terperinci dalam syariat). Karena konsekuensi logis dari syahadat sangat berkaitan dengan ibadah-ibadah sebagaimana dijelaskan sebagai berikut.
Dikaitkan dengan shalat, maka ketika seseorang dihadapkan pada perintah untuk mendirikan shalat, boleh jadi ia akan merasa berat mengerjakan shalat tersebut. Sebab ia tidak memiliki dorongan kuat dari dalam dirinya berupa pemahaman yang benar dari syahadat. Sehingga mengharuskan ia untuk senantiasa mengerjakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah dalam Quran Surat Al-Baqarah: 45 yang artinya:
"Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat, dan (shalat) itu sungguh berat kecuali bagi orang yang yang khusyuk". (Al-Baqarah:45)
Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa shalat (yang khusyuk) hanya dapat dijalani bagi orang yang menyadari bahwa shalat itu tidak hanya gerakan fisik tanpa pemaknaan yang mendalam dalam hati dan pikiran. Sehingga banyak orang melaksanakan shalat, namun ia tidak berupaya untuk khusyuk.
Jika dikaitkan dengan puasa, apabila seseorang tidak memiliki keyakinan yang kuat terhadap syahadatnya, maka ibadah puasa sangat sulit untuk dikerjakan, karena berpuasa membutuhkan kesabaran berupa sikap untuk menahan diri dari segala yang membatalkan. Mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari.
Godaan-godaan untuk membatalkan puasa sangat banyak, seperti godaan makan, minum, pergaulan suami-istri. Begitu pula dengan godaan-godaan yang tidak sampai membatalkan. Tetapi dapat merusak ibadah puasa, seperti bergunjing, bergurau melampaui batas, tidur berlebihan dan lain sebagainya.
Namun bagi orang yang beriman, mengerjakan ibadah puasa bukanlah pekerjaan yang berat karena mereka mempunyai keyakinan, dan dorongan kuat dalam dirinya untuk mengerjakan perintah Allah SWT. Sehingga ia mampu berpuasa dan menambahnya dengan mengerjakan ibadah-ibadah sunat yang dianjurkan pada bulan Ramadan. Seperti Tilawah Quran, Qiyamul Lail, memperbanyak sedekah, memberi makan orang miskin, dan lain sebagainya.
Demikian pula halnya dengan zakat, apabila seseorang tidak memiliki pemahaman terhadap syahadat secara benar, maka berzakat akan terasa berat dan memberatkan. Ini dikarenakan berzakat dan bersedekah membutuhkan keikhlasan yang nyata dan tidak sekadar hiasan kata-kata ikhlas. Tetapi berzakat dan bersedekah membutuhkan pemahaman totalitas terhadap ajaran Islam yang memerintahkan ummatnya untuk berinfak (membelanjakan) hartanya di jalan Allah. Tanpa perlu merasa hartanya berkurang atau habis.
Karena berzakat pada hakikatnya akan mendatangkan keberkahan dan kebersihan harta serta pahala yang berlipat ganda. Keyakinan tersebut muncul pada pribadi yang memahami akan makna dari syahadat yang totalitas dalam melaksanakan perintah Allah. Mustahil bagi pribadi yang tidak memiliki keyakinan demikian mampu menunaikan zakat dan bersedekah dengan baik. Sebagaimana ditegaskan Allah dalam al-Quran yang artinya:
"Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketentraman jiwa bagi mereka. Allah maha mendengar lagi maha mengetahui". (QS. At-Taubah: 103)
Dikaitkan dengan ibadah haji, sebagai rukun Islam yang wajib dilaksanakan sekali dalam seumur hidup, juga membutuhkan komitmen yang kuat dari seorang muslim untuk dapat menuanikannya. Sebagaimana Firman Allah dalam Surat al-Imran [33]: 97 yang artinya:
"...mengerjakan ibadah haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu (bagi) orang mampu melaksanakan perjalanan ke Baitullah".
Ibadah haji juga menuntut ketahanan fisik, seperti mampu bertahan dalam desakan-desakan ketika thawaf, berlari-lari kecil sebanyak tujuh kali antara bukit Shafa dan Marwa, dan berjalan lebih kurang tujuh kilometer dari Makkah ke Mina untuk melakukan pelontaran jumrah. Selain ibadah haji membutuhkan kemampuan fisik dan finansial. Ia juga harus dilandasi pada kemampuan jiwa untuk merealisasikan beban dan tanggungjawab dalam hal keimanan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa syahadat sebagai rukun Islam bersifat maknawiyah dan amaliah yang senantiasa harus melekat pada diri seorang muslim kapanpun dan dimanapun. Syahadat juga harus menjadi ruh atau spirit dalam menjalankan perintah agama. Sehingga amalan-amalan yang dilakukan memang lahir dari pemahaman yang benar dan lurus dari syahadat yang telah diikrarkan. Wallahua’lam bisshawab.
Komentar
Kirim Komentar