Menaklukan Hati
Rio Handoko
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering tidak mengerti bagaimana seharusnya berinteraksi dengan masyarakat. Manusia juga tidak tahu bagaimana bertindak dan bersikap dengan semestinya. Ketika manusia ingin dekat dan mengajak orang lain berbuat seperti yang diharapkannya, justru menimbulkan bahaya yang lebih besar daripada apa yang dibayangkan. Itu telah menjadi fitrah manusia, tempat lupa dan salah.
Dalam Islam, interaksi sesama manusia (hablu minannas) adalah hal wajib yang harus dimiliki oleh umat muslim. Tapi, terkadang, masih banyak juga yang ‘gagap’ dan tidak tahu bagaimana berlaku dan memperlakukan orang lain dan lingkungan dengan baik. Masih ada orang-orang Islam yang membenci para da’i (penyeru agama Allah). Padahal, da’i adalah salah satu penyambung dan penyampai pesan Allah kepada umat Islam di dunia. Namun, karena beberapa hal yang tidak bersesuaian dengan apa yang selama ini mereka lakukan, maka lantas mereka membencinya. Hal ini dapat dikategorikan sebagai salah satu perbuatan zalim.
Seharusnya, para da’i bisa memaklumi sikap tersebut bukan malah mengeluarkan kecaman. Khususnya ketika dijumpai mereka sedang mengajak orang lain kepada kebaikan dengan cara yang salah bagi sebagian orang, dimana ia mengklaim dirinya merupakan bagian dari suatu pergerakan peradaban dunia. Padahal pemahamannya tentang pergerakan peradaban dunia pun minim.
Penolakan dari sesama kaum muslimin disebabkan karena ketidaktahuan atas jalan menuju kebahagian hati manusia. Seorang da’i yang memahami kiat-kiat menembus hati manusia, tentu dapat mengantarkan kepada al haq (kebenaran), walaupun hati itu milik sang pembangkang.
Demikianlah yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah Saw. Manusia yang sangat memahami kiat menaklukkan hati, sehingga hati manusia dapat condong kepadanya. Beliau menawarkan dakwahnya kepada kabilah-kabilah, di tengah-tengah kerumunan massa. Dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Ishaq, Muhammad bin Abdurrahman bin Husain bercerita kepadaku, bahwasannya dia datang menemui Rasulullah Saw. yang tengah berada di rumah perkampungan Bani Abdullah. Beliau mengajak mereka kepada Allah Swt. dan menawarkan diri kepada mereka dengan sabdanya :"Wahai anak cucu Abdullah, sungguh Allah telah memberikan nama yang bagus pada nenek moyang kalian."
Kita saksikan pula kelembutan Rasulullah Saw. terhadap orang Badui yang mengencingi masjidnya. Anas bin Malik menceritakan bahwa: "Seorang Badui datang langsung kencing di pojok masjid, sehingga para sahabat menghardiknya. Kemudian Rasululah Saw. mencegah mereka, hingga ketika selesai dari kencingnya, Nabi memerintahkan mengambil satu ember air untuk disiramkan di tempat itu." (HR. Bukhari).
Tidaklah Badui itu dihina dan dicerca, bahkan dia disayangi dan dibiarkan menyelesaikan kencingnya. Begitulah cara Rasulullah Saw. dalam menyebarkan dakwah ilallah. Selain itu, ketika Beliau berhadapan dengan seorang badui kasar, Rasulullah Saw. tetap memperlakukannya dengan penuh kelembutan. Anas juga berkata, "Aku pernah berjalan bersama Rasulullah Saw. yang sedang memakai Burdah Nigeria yang kasar tenunannya. Mengetahui hal itu, seorang badui langsung menariknya dengan kuat hingga aku melihat guratan pada kulit leher Rasulullah Saw. akibat tarikan itu. Orang itu berkata, ‘Hai Muhammad! Perintahkan kepadaku agar diberikan kepadaku harta Allah Swt. yang ada padamu!’ Rasulullah Saw. menoleh padanya dengan tersenyum dan memerintahkan kepada sahabat untuk memberikannya. (HR. Muslim).
Rasululah sama sekali tidak marah dengan perilaku badui tersebut, juga tidak membalas dengan memperlakukannya secara kasar. Sikap inilah yang seyogyanya dimiliki seorang da’i pada zaman sekarang dalam menghadapi orang yang masih awam terhadap Agama Islam. Mengajak dengan segala kasih sayang hingga objek dakwah mau menerima apa yang kita katakan. Tidak malah menggunakan cercaan dan hinaan. Para da’i mesti tabah menghadapi perilaku buruk orang-orang awam demi sampainya kalimat Allah Swt. Mengumpamakan diri bak seorang dokter yang sabar dan tidak akan marah karena perilaku pasiennya.
Sebagaimana Rasulullah Saw. telah memberikan gambaran tentang puncak kasih sayang seorang da’i. Ketika itu, beliau hijrah ke Thaif, namun masyarakat setempat menanggapi dengan pengusiran dan lemparan batu sehingga kaki beliau mengeluarkan darah. Rasulullah Saw. hanya lari menghindar seraya berdoa, "Ya Allah, ampunilah kaumku karena sesungguhnya mereka belum mengerti". (HR. Muslim).
Saat ini kebanyakan masyarakat masih memandang kalau belum ada da’i yang sampai pada predikat ini. Maka dari itu, benih-benih cinta dan kasih sayang kepada orang yang hendak didakwahi harus tertanam dan menyatu dalam jiwa seorang da’i. Ketika tiba pada saatnya nanti, objek dakwah pun akan menerima dan memperhatikan para da’i tanpa jemu.
Sayid Qutb berkata dalam kitab Alfrahu Ar-Ruh, "Ketika bersemi dalam tubuh kita benih-benih kelembutan dan kebaikan, kita telah meringankannya dari beban derita. Kita tidak perlu lagi merayu orang lain karena mereka memiliki kesan terhadap kita bahwa kita orang-orang rajin dan ikhlas ketika kita melontarkan pujian kepada mereka. Kita akan menyingkap dari dalam diri mereka kebaikan yang terpendam. Kita temukan berbagai keistimewaan yang menopangnya dalam menyampaikan kalimat thayyibah (yang baik). Tetapi yang demikian itu belum kita temukan manakala belum tumbuh dalam diri kita benih cinta. Demikian halnya kita tidak perlu memaksa diri menanggung kesabaran atas kesalahan dan kebodohan mereka karena baru yang kita perhatikan adalah segi-segi kelemahan dan kekurangan semata. Itupun tidak perlu kita selidiki. Hingga saatnya nanti, kita melihat sendiri saat benih-benih kelembutan telah berkembang dalam jiwa. Selayaknya pula kita tidak memaksa diri dalam mendendam atau mewaspadai mereka. Kita mendendam pada orang lain dikarenakan benih-benih kebaikan belum berkembang sempurna dalam jiwa. Kita mencurigai mereka karena unsur tsiqah (patuh) terhadap kebaikan yang ada dalam diri kita masih kurang".
Mahasiswa Pendidikan Teknik Elektro UNP TM 2006
Komentar
Kirim Komentar