Sogok-menyogok
Yola Sastra
Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak.
Pepatah lama ini adalah gambaran dari realita yang terjadi di tubuh bangsa Indonesia saat ini. Tidak dapat dinafikan lagi, bangsa yang besar seperti bangsa Indonesia tanpa disadari juga telah membesarkan orang-orang bermental melempem. Seperti yang dikatakan pepatah diatas. Bagaikan melihat semut di seberang lautan masyarakat kita terlalu sibuk mengurusi kesalahan orang lain, sedangkan gajah di pelupuk mata atau kesalahan diri sendiri tidak pernah disadari. Misalnya budaya praktek suap atau lebih dikenal dengan istilah sogok menyogok.
Bagi masyarakat Indonesia saat ini, sogok menyogok bukan lagi hal yang tabu, melainkan sudah lumrah, bahkan membudaya. Tidak asing lagi jika banyak para tetangga atau sanak saudara kita memberikan uang pelicin kepada pihak-pihak yang membantu pendaftaran ke sebuah instansi pemerintahan. Pendaftaran untuk masuk kepolisian, misalnya. Tidak sedikit yang rela mengeluarkan kocek hingga ratusan juta rupiah untuk bisa lolos dalam tes tersebut. Atau ketika melanggar lalu lintas, mereka lebih memilih membayar uang damai kepada Polantas daripada mengikuti sidang. Kita tidak bisa menampik bahwa hal-hal kecil tersebut juga termasuk kedalam KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme). Namun faktanya semua orang lebih memilih diam dan tidak menganggap itu suatu masalah. Sedangkan ketika ada seorang pejabat tertangkap karena kasus suap, kita berbondong-bondong menyalahkannya.
Sebagai contoh, ketika Angelina Sondakh cs diperkarakan karena kasus suap Hambalang beberapa tempo lalu. Kita dengan kompak mencaci dan mengutuki perbuatan mereka. Suap itu tidak baik. Korupsi itu menyakiti hati rakyat. Tapi apakah kita benar-benar bersih dari apa yang dilakukan pejabat di atas? Sepertinya kita juga punya andil dalam pembibitan koruptor kelas atas tersebut.
Jika dikaji-kaji, sogok-menyogok juga termasuk kedalam simbiosis mutualisme. Kedua belah pihak, penyogok dan yang disogok sama-sama diuntungkan. Penyogok bisa mendapatkan tujuannya dengan mudah, sedangkan yang disogok mendapatkan uang dengan membantu si penyogok. Namun apakah simbiosis negatif seperti ini yang di harapkan? Kedua pihak memang diuntungkan, tapi kerjasama ini justru merugikan pihak lain. Contoh lain seperti proses seleksi PNS yang seharusnya dilaksanakan dengan objektif tetapi malah terancam karena adanya sogokan. Mereka yang diuntungkan adalah mereka yang beruang, sedangkan ekonomi lemah semakin disudutkan oleh ketidakberdayaan.
Tanpa disadari kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia akan semakin rendah. Pada proses normalnya hanya orang-orang berkompeten yang layak diterima untuk masuk dalam instansi pemerintah. Namun dengan adanya praktek sogok ini orang yang tidak masuk kriteria juga bisa diterima. Bayangkan saja bagaimana jadinya jika instansi diisi oleh orang-orang yang tidak layak. Negara ini bisa hancur.
Pemerintah seharusnya turun tangan dalam memberantas praktek ini. Selain membuat masyarakat miskin semakin menderita, budaya sogok menyogok juga akan menurunkan SDM Indonesia. Jika memang pemerintah ingin memberantas KKN, sudah menjadi kewajiban untuk menghentikan praktek sogok menyogok ini. Karena sogok menyogok berpotensi melahirkan bibit-bibit koruptor. Pemerintah tidak bisa hanya menangkapi koruptor kelas kakap saja, tanpa memberantas koruptor amatir. Sesuatu yang besar seharusnya berawal dari hal yang kecil.
Selain itu kita juga harus menanamkan sikap jujur dalam sistem pedidikan kita. Dengan adanya sikap jujur yang ditanamkan sejak dini diharapkan nantinya dapat membangun negara yang tidak hanya pintar belaka melainkan juga orang-orang jujur. Dengan demikian negara kita akan mulai bergerak maju dari ke-stagnam-an ini.
Komentar
Kirim Komentar