Membeli Kinari
Mardho Tilla
Aku jatuh cinta pada sempurnanya langit biru. Bersih dan jernih yang menyambut semburat jingga di baris timur. Saat hati sedang berkecamuk karena karut-marut dunia, pandangi saja langit yang bersih ini, kau akan tenggelam dalam biru yang dalam, namun tidak menyesakkan. Sehingga aku bersyukur Tuhan menciptakan warna langit itu biru, karena kini aku tergila-gila dalam kebiruan. Telentang di bawah langit dan tenggelam, seakan dengan begini aku bisa membasuh semua resah, semua kemarahanku pada sang takdir.
Takdirkah ini jika seseorang yang ku puja menjadi pendusta? Jangan salahkan aku terlalu menuntut, aku berhak melakukannya setelah kau mengarang takdir hidupku. Membencimu saja rasanya belum cukup. Bahkan aku sempat berfikir untuk menghilangkan kisah kau dan aku jika itu bisa. Dan jangan pernah mengucap maaf.
pendusta!
***
Malam cerah, bintang saling berpaut membuat taburan acak di langit yang berteman dengan senyum bulan sabit. Angin menyapu gorden yang diikatkan di dinding, ujung kain hijau tosca itu menyambar-nyambar kakiku yang terjulur keluar jendela. Tiduran telentang begini membuat otot-ototku nyaman. Meski ibu akan mamarahiku setiap kali aku berpose seperti itu. Kalimat yang selalu hadir dalam omelan khasnya "Kau bisa buncit kalau tidur setelah makan begini, bersikaplah layaknya seorang gadis!" dan selanjutnya akan tersaji ceramah kegadisan yang membuatku mengantuk.
Suasana malam ini sama dengan malam-malam sebelumnya, ibu sibuk dengan singgasana dapurnya dan ayah menikmati cerutu kesayangannya, sedangkan aku sibuk dengan fikiran-fikiran gilaku sendiri. Suatu saat daftar kegilaan ini akan aku coret dari daftarnya karena telah berhasil ku taklukkan. Namun tiba-tiba aku teringat sesuatu yang kemudian kusampaikan pada ayah.
"Jika suatu hari aku dijemput seorang lelaki yang ingin membawaku dalam hidupnya, apa ayah akan mengizinkan?"
Ayah memandangku sekilas lalu berujar, "Bagaimana hidupmu kelak kau sendiri yang akan merasakan sengsara atau bahagianya, pandai-pandailah memilih kebahagiaan." Dan sejak itu aku berusaha menemukan apa yang membuatku bahagia dengannya. Namun selama aku sibuk mencari alasan dan jawaban, aku akhirnya memutuskan untuk melanjutkan kisah yang telah kutulis. Menikah bukanlah akhir dari petualangan hidup, melainkan suatu episode baru yang dimulai dan dijalani agar nantinya kita tahu kisah tersebut akan berakhir seperti apa.
Bertemu dengannya bagiku adalah anugrah terindah. Lelaki dari tanah rencong yang flamboyan ini mencuri hatiku. Bang Dani begitu aku memanggilnya, baik dan mapan dari segala sisi, dan yang terpenting adalah aku percaya padanya. Bukan karena rayuan atau iming-iming yang menggiurkan, namun aku yakin dan ingin berjuang dalam hidup bersamanya, aku akan punya jawaban yang lebih lengkap untuk menjawab apa itu kebagiaan.
Tidak terlalu lama, kami akhirnya menikah. Ayah dengan senang hati menjadi wali nikah kami, keluarga bang Dani juga hadir dan turut berbahagia. Tahun-tahun yang kujalani bersama bang Dani penuh tantangan dan perjuangan. Membuka usaha konveksi menjadi mata penghidupan keluarga kami. Dua tahun menikah, aku melahirkan seorang malaikat mungil yang cantik, dan setiap hari aku mengumpulkan semakin banyak kebahagiaan. Kebahagiaan-kebahagiaan itu kusimpan dalam stoples kecil dan kusembunyikan dari peri-peri usil yang suka mencuri kebahagiaan. Kebahagiaan harus kusimpan dalam untuk cintaku yang semakin bertumbuh dewasa.
Kami masih tinggal dengan orang tuaku, sampai suatu hari aku melihat bang Dani dengan wajah keruh masuk ke dalam kamar. Aku sempat bertanya apa yang terjadi, namun bang Dani diam saja dan kemudian pergi ke toko tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku cemas dan bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi. Kutanya kepada ibuku apa yang terjadi sebelum bang Dani pergi. Dari cerita ibu aku berkesimpulan bang Dani tersinggung oleh ucapan ayah ketika mereka mengobrol di dapur. Seperti halnya orang tua, ayahku mungkin ingin memberi nasihat untuk kebaikan anaknya, namun sayang bang Dani menanggapinya lain.
Selepas kejadian itu, bang Dani lebih banyak menghabiskan waktu di toko atau dalam kamar saja. Sering bang Dani pulang lebih malam dan sampai di rumah langsung tidur tanpa perlu menyapa kedua orang tuaku. Aku merasa tidak nyaman dengan sikap suamiku itu, tapi apa boleh buat semuanya terus berjalan dan aku harus menghadapinya. Seiring berjalannya hari aku berdoa semoga kemarahan bang Dani semakin memudar. Berharap kemarahannya disapu hujan dan angin sampai semuanya habis dibawa pergi.
Doaku sepertinya terkabul, suamiku kembali bersemangat setelah keluarga dari Aceh menghubunginya. Mereka meminta kami datang berkunjung karena ingin bertemu malaikat kecil kami. Saat itu usia anakku sudah hampir satu tahun dan bisa dibawa untuk perjalanan jauh. Berpikir ini bisa jadi pembangkit semangat dan liburan bagi keluargaku, aku pamit pada ayah dan ibu. Awalnya ibu sempat melarang, mengingatkan anak kami masih terlalu kecil dan Aceh itu cukup jauh. Apalagi kami melakukan perjalanan darat dan itu memakan waktu perjalanan sehari semalam. Tapi aku berusaha meyakinkan beliau bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Kami berangkat dua hari setelah lebaran. Moment yang sangat tepat untuk mengunjungi keluarga jauh untuk bersilaturahmi. Suamiku juga ceria sepanjang perjalanan dan bercerita tentang semua keluarganya yang akan kami temui di Aceh sana, tentang ganja sebagai sayuran, tentang rencong, dan bahasa Aceh yang beragam di tiap daerahnya. Bagiku perjalanan ini juga untuk liburan memperbaiki suasana hati suamiku yang sepertinya terbentur karang hingga meradang. Namun lukanya di dalam, hingga tidak terlihat darah yang menetes.
***
Udara di Aceh lebih panas dibanding kampung halamanku. Hari-hari disini menyenangkan karena dikelilingi keluarga yang perhatian dan sangat menyayangi kami. Meski aku tidak terbiasa dengan bahasa dan makanan disini, lama-kelamaan lidahku mulai terbiasa. Tanpa terasa dua bulan terlewat, aku sempat berpikir kapan kiranya kami akan pulang ke rumah. Tapi melihat suamiku yang ceria di tengah-tengah keluarganya, aku mengalah. Biarlah dulu bang Dani melepas rindu di tengah keluarganya.
Musim silih berganti dan kami sudah seperti penduduk daerah ini. Bang Dani yang awalnya sibuk mengunjungi semua sanak keluarganya, juga mulai turun bekerja mengurusi perkebunan. Orang tuaku sering menelpon menanyakan kapan kami akan pulang ke kampung, ibu rindu pada si kecil dan rumah juga sepi karena mereka hanya berdua saja. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Karena setiap aku bertanya pada bang Dani ia akan menjawab sambil tergelak, "Disini rumahmu juga dik, cobalah untuk menikmati angin asinnya." Aku tidak mengerti maksudnya maka aku diam saja.
Dua kali lebaran aku dan bang Dani hanya mengucapkan maaf pada orang tuaku lewat telpon. Bang Dani sempat menjanjikan akan pulang secepatnya, namun kebetahannya disini membuatku curiga bahwa bang Dani tidak ingin kembali ke rumah orang tuaku lagi. Sampai suatu malam aku tanyakan padanya, awalnya bang Dani menjawab asal-asalan seperti biasa tapi akhirnya bang Dani mengakui ingin hidup menetap di tanah kelahirannya. Aku kesal dan marah, bang Dani mengambil keputusan tanpa meminta pendapatku dan berdusta tentang tujuan perjalanan ini. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, dia suamiku.
Kukabari orang tuaku di kampung, dengan hati sedih mereka mengizinkanku tinggal menetap di Aceh dan meminta aku sering-sering pulang untuk mengunjungi mereka. Aku berjanji dan mereka cukup tenang. Aku melanjutkan hidup dengan menguatkan hati demi keluargaku. Menjalankan peranku sebagai seorang istri dan ibu. Meski aku rindu orang tuaku, namun bang Dani sulit untuk diajak pulang kampung walau sekedar berkunjung. Mungkin ia takut aku juga tidak ingin kembali lagi ke Aceh jika nantinya pulang kerumah.
Tujuh kali lebaran kujalani disini tanpa bertemu ayah ibuku. Aku kecewa dan sedih dengan sikap bang Dani, tapi aku tak berdaya untuk melawannya. Ibu selalu menangis dan meminta aku pulang karena mereka sangat merindukanku. Tapi bang Dani selalu berkata tidak, dan aku hanya bisa terisak. Sampai suatu waktu aku mengadu pada ibu mertuaku. Beliau menatapku sedih namun mengucapkan kata-kata yang membuatku ingin mati saat itu juga.
"Kinari anakku, kau telah dibeli oleh suamimu untuk menjadi keluarga kami lewat ikatan pernikahan kalian. Begitulah adat kami. Sekarang kau hanya milik keluarga ini, bukan milik orang tuamu lagi."
Satu dua bulir hangat itu jatuh dan pecah, bersama itu pula jiwa ku runtuh. Aku dibeli?
Aku tidak pernah tahu itu!
Komentar
Kirim Komentar