Fase Kesadaran Manusia
Meri Susanti
Akhir-akhir ini Indonesia sering dilanda berbagai musibah, mulai dari bencana alam, korupsi dan perkara keramahan lingkungan yang cukup memprihatinkan. Fenomena seperti ini tetap tidak menyadarkan manusia akan apa yang telah ia perbuat dengan tangannya. Bukannya sadar, manusia acap kali mengkambing hitamkan alam. Sehingga alam murka.
Ibnu Katsir pernah berkata, "Wahai sekalian manusia, ketahuilah bahwa musibah yang menimpa kalian tidak lain adalah disebabkan karena dosa yang kalian dahulu perbuat. Dan Allah memaafkan kesalahan-kesalahan kalian tersebut. Dia bukan hanya tidak menyiksa kalian, namun Allah langsung memaafkan dosa yang kalian perbuat." Karena memang Allah akan menyiksa seorang hamba karena dosa yang ia perbuat. Sebagaimana Allah berfirman, Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melata pun (QS. Fathir: 45).
Bercermin dengan realita yang terjadi di Indonesia saat ini, masih banyak saudara kita yang sengsara dengan bencana, seperti gempa bumi di Aceh Juli lalu. Mereka meretas kehidupan dalam lingkar trauma masa lalu dan sekarang kembali menghantui. Bahkan untuk beribadah, mereka terpaksa melaksanakannya di tempat pengungsian. Belum lagi kenaikan harga BBM yang mengakibatkan berbagai permasalahan sosial, moral dan ekonomi. Harga kebutuhan pokok melambung naik, kekacauan terjadi akibat ‘niat mulia’ pemerintah dalam pembagian Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Masyarkat miskin merasa mendapatkan ketidakadilan dalam pembagian BLSM ini. Sehingga tak jarang memicu bentrok dan saling sikut antar sesama masyratakat demi mendapatkan rupiah secara cuma-cuma. Pun, demontrasi-demonstrasi yang terjadi karena masyarakat menuntut penjatahan yang lebih adil.
Bila sudah begini wajar masyarakat berprasangka buruk atas ketidakbecusan orang-orang yang berkuasa di negeri ini. Mereka telah berdosa karena menghianati kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat. Mereka yang sering dimuliakan dengan sebutan wakil rakyat, seolah sibuk dengan berbagai urusan atas nama rakyat padahal, mereka sibuk mengembungkan celengan pribadi. Apa yang didengung-dengungkan kepada media, dampaknya seringkali tidak terasa oleh rakyat. Katanya mereka melakukan berbagai kunjungan dan studi banding keluar negeri demi perbaikan negara dan rakyat. Tapi nyatanya studi banding dan kunjungan tersebut hanya modus agar mereka dapat pelesiran keluar negeri. Belum lagi mengenai adanya kursi kosong saat rapat paripurna dan tertidurnya pejabat pada saat rapat berlangsung. Fenomena yang sudah menjadi hal biasa ini seolah-olah tidak menjalankan amanah yang sudah diberikan rakyat.
Permasalahan ini belum seberapa dibandingkan dengan ‘perampokan berjamaah’ yang saat ini merajalela di negara ini. Kasus ini tidak hanya dilakukan oleh kaum pejabat elit tapi juga menggoda para pejabat kelas bawah. Bahkan perkara ini sudah menjadi seperti rantai yang saling terhubung satu sama lain. Banyak kasus membuktikan adanya hubungan antara koruptor satu dengan yang lain. Sehingga permasalahan ini mengakar kuat karena pelaku saling melindungi. Upaya penebasan-penebasan belum mampu berbicara banyak untuk membuh para koruptor Indonesia. Ungkapan Soekarno yang berbunyi: "Berikanlah aku sepuluh pemuda maka akan kuguncang dunia!"hanyamenjadi pernyataan yang tersimpan rapi dalam catatan sejarah, tidak banyak -atau mungkin tidak ada- lagi ditemukan pemuda seperti dalam pernyataan tersebut.
Ketidakpedulian tangan-tangan penguasa di Indonesia, berimbas pada rakyat yang seharusnya dijaga, dicintai, dikasihi dan didengar keluh kesahnya. Rakyat Indonesia, terkhusus golongan menengah kebawah memekik dalam kecaman kemiskinan. Mereka mengais rezeki dengan cara yang sangat memilukan. Seperti halnya memulung, mengemis dan terkadang ketika telah kehabisan akal mereka nekat menafkahi keluarga dengan cara tak halal. Disebabkan oleh keinginan untuk tetap bertahan hidup, mereka rela berbuat kejahatan, berlaku kejam, melakukan penipuan dan berbagai aksi lain demi kelangsungan hidup. Lama-kelamaan hal ini menjadi suatu kebiasaan dilingkungan masyarakat. Akhirnya lingkaran perbuatan keji pun mengalir pada rakyat. Memaksa masyarakat untuk berperilaku apatis, tidak peduli antar sesama dan memperalat alam dengan prilaku menyimpang.
Sebagai manusia ciptaan Tuhan, seringnya kali kita lupa akhirat dan lupa kepada Tuhan. Sebenarnya, setiap hati manusia baik, jika diuji dengan kefakiran sakit, dan musibah, tetapi justru rusak jika diuji dengan kenikmatan. Sebagaimana firman Allah Ketahuilah, sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup (al-‘Alaq: 6–7) (Syarh Kitab at-Tauhid, oleh asy-Syaikh al-Ghunaiman).
Dosa yang diperbuat oleh manusia tentunya akan mendapat ganjaran yang sama dari Allah Swt. Bisa saja ganjaran tersebut berupa azab. Secara umum kita menganggap azab adalah siksaan yang besar, berat, dan mengerikan. Hal ini karena penyebutan azab dalam Al-Qur’an sering berupa azab yang keras, pedih, hina, besar, berat, kekal, dan sebagainya. Semua itu sebagai bentuk ancaman bagi mereka yang terjerumus dalam syahwat, syubhat, kesesatan, dan pelanggaran.
Namun, Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa Allah mengancam orang-orang yang menentang dan membuat kerusakan dengan suatu azab selain azab yang besar. Dengan harapan, mereka mau kembali dari kesesatan kepada ketaatan dan tersadarkan dari perbuatannya. Allah menjelaskan bahwa bencana dan malapetaka yang menimpa orang-orang yang menentang di dunia ini itu hanya azab yang dekat (kecil). Seperti firman Allah: "Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (kepada ketaatan)." (as-Sajdah: 21)
Mungkin, sudah waktunya kita lebih mengenali diri, kembali mengingat apa yang telah kita perbuat dan kembali ke jalan yang dirhidoi Allah SWT. Mungkin saja ini bukan lagi ujian, teguran, tetapi sudah berupa azab. Ini diberlakukan pada setiap individu yang selalu berlaku zhalim di muka bumi ini. Sebab, hanya pribadi masing-masing yang bisa mengukur sejauh mana dosa yang ia perbuat dan seberapa jauh ia telah meninggalkan pondasi dalam berkeyakinan. Disamping itu juga seberapa sering ia melupakan bahwa janji adalah sesuatu yang harus ditepati. Adanya rasa takut pada yang Maha Kuasa akan menjadikan kesadaran lebih nyata. Kita akan meyakini bahwa yang salah akan mendapatkan ganjaran kelak di kehidupan abadi (akhirat). Seperti firman Allah swt "Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan." (Al-Anbiya’: 35).
Kembali ke jalan yang benar adalah salah satu cara untuk memohon ampun atas dosa yang telah kita lakukan. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (dalam Miftah Daris Sa’adah, 1:287) mengatakan: "Tidaklah suatu bala’ turun melainkan karena dosa dan tidaklah bala’ tersebut akan diangkat melainkan dengan taubat."
Komentar
Kirim Komentarhasbial habibi
07-10-2013 10:12 WIB