Surat Awan
Sri Endah (Pendidikan Bahasa Indonesia)
Sarjana adalah debu yang berterbangan di jalan. Berserakan di setiap pelosok hingga kota. Bahkan terlindas hujan dan panas. Ada yang nekat menjadi perampas. Merampas dengan tangan. Merampas dengan moral. Merampas dengan segala kemampuan naluri yang mereka anggap halal.
Seketika awan bergerak, menyibak langit menjadi indah. Perlahan warna biru menyapu bersih keindahan langit. Udara yang bergerak, tidak berwarna, bahkan hanya dapat kurasakan, menyatukan pikiranku dengan masa yang akan datang.
Dari kejauhan, tampak samar keindahan laut. Berada di sebuah gedung dengan ketinggian tiga puluh tiga meter, membantuku menikmati indahnya dunia. Ya, dunia yang semakin hari kurasakan banyak perubahan. Dunia yang sudah tidak perawan lagi.
Tepat waktu siang hari, ketika panas matahari berada vertikal melihat tanah, aku menolehkan pandangan pada sebuah titik. Awan segumpal tinju memanggilku untuk terbang menuju langit. Setelah itu, ia berusaha menarikku agar aku bisa duduk bertengger di atasnya. Kubenamkan dengan pasti pikiran saat ini. Awan itu melepaskan kailnya padaku. Dengan pasti kupegang kail itu. Secara beringsut, ia menarikku hingga semakin dekat. Tarikan itu semakin kencang. Semakin dekat. Ya, kini aku terseret ke dunianya. Aku tengah bersamanya.
"Benarkah kamu seorang mahasiswa?" tanyanya padaku.
Dengan singkat kubalas "Ya".
Ia membalas dengan goncangan. Seketika kurasakan tubuhku berguncang. Kupikir ini gempa, sayangnya tidak.
"Jawablah sekali lagi dengan pasti!" Suara Awan terdengar meninggi.
Aku heran, apakah ada sesuatu yang aneh dari jawabanku. Cepat-cepat kuambil sebuah keputusan.
"Ya! Aku adalah seorang mahasiswa." Kembali tubuhku berguncang. Aku tersentak kaget, kurasakan kali ini aku seperti berada dalam sebuah ayunan.
"Bagus. Jangan tanggung-tanggung bila menjawab. Apa yang membuatmu merenung begitu lama?" tanyanya lagi.
Kali ini kubalas dengan basa-basi, "yah, kau tahu, sekedar menikmati keindahan alam".
Seketika suasana menjadi hening. Awan sepertinya murka padaku. Apakah sebuah kesalahan besar yang menyeretku bertemu dengannya. Ah tidak mungkin, ini hanyalah sebuah klise yang kuno. Entah kenapa awan berubah hampa, keheningan ini terlalu lama, aku harus mencari nya, aku harus mengetahui alasanku diseretnya ke tempat ini. Aku harus memanggilnya.
"Awan…. Awan…! Maaf. Kali ini akan kuikuti semua kemauanmu. Asalkan setelah ini aku kembali ke bumi."
Lagi-lagi aku terhenyak oleh suara Awan yang menggema tepat di gendang telingaku.
"Ha…ha…ha… Dasar mahasiswa. Dengarkan. Aku membawa sebuah surat untukmu."
"Surat? Maksudmu?" tanyaku heran.
"Jangan terlalu memaksa. Kau harus lebih cekatan. Bukankah kau mahasiswa?" wajahnya lebih terlihat seperti menyindir. "Ya, ini sebuah surat yang datang dari masa depan."
"Apa? Tidak masuk akal. Sama sekali tidak realistis!" aku memalingkan pandangan keseluruh sudut, semua terlihat begitu putih. Begitu lembut. Apakah aku bermimpi?" ah tidak, aku sadar, aku bahkan tidak tidur.
Cepat-cepat aku tantang lagi awan yang mulai heran menatapku.
" Aku tidak mau membacanya!".
Awan seketika marah. Ia berputar haluan menjadi geram. Warnanya yang tadi putih bersih, dengan singkat menjadi abu-abu. Bahkan, seperti abu-abu yang sudah tua.
. "Dengar ya mahasiswa! Aku hanya melaksanakan perintah. Dasar kau pemalas! Membaca surat saja tidak mau, bagaimana pula universitas akan memberikanmu gelar sarjana!" bentak Awan padaku.
Aku naik pitam, kali ini kekesalanku memuncak.
"Heh! kau jangan terlalu menggurui. Membaca atau tidaknya, itu bukan urusanmu. Yang jelas, aku tidak mau membaca surat itu! Palingan surat itu isinya sama dengan surat yang datang kepadaku tahun lalu. Apalagi, perintah agar aku harus rajin-rajin kuliah?"
Sepertinya awan kesal dengan ucapanku.
"Mahasiswa, bukankah itu hanya untuk orang-orang yang berpendidikan? Apakah kata makian seperti itu yang selalu kamu tuturkan? Menyedihkan. Aku datang baik-baik. Bahkan, ini adalah sebuah kemuliaan untukmu. Mendapat surat yang tidak semua orang bisa dapatkan."
Pembicaraan itu terhenti.
Aku terdiam mendengar ucapan Awan. Memang, selama menjadi mahasiswa banyak hal tidak baik kulakukan. Aku tidak bersemangat, aku merasa jenuh karena terlalu lama menetaskan gelar sarjana. Bahkan, kadangkala aku mempunyai pemikiran untuk mencabut statusku sebagai mahasiswa. Dengan berat hati, terpaksa kurangkuhkan tangan dan mulai membuka surat tersebut.
"Baiklah. Surat itu akan kubaca sekarang."
Warna Awan kembali menjadi putih. Kuharap itu pertanda bahwa ia telah memaafkanku.
"Salam sejahtera untuk mahasiswa. Saya sezlalu merindukan mahasiswa yang intelektual dan bersemangat. Semoga Anda mendengar sugesti saya. Negeri Kebahagiaan adalah sebuah tempat yang menjanjikan untuk Anda.
Mahasiswa adalah orang yang istimewa. Bahkan, mahasiswa adalah orang yang beruntung. Orang-orang yang bernasib baik, yang mendapat kedudukan lebih tinggi di atas siswa.
Tapi, ada satu hal yang membuat kami mengirimkan surat ini kepada Anda. Negeri bagian kami, dua bulan yang lalu mengirimkan surat. Surat itu datang dari sebuah negeri bagian bernama Pengharapan. Salah seorang warga dari negeri ini benar-benar berusaha dan berjuang agar suratnya kami terima. Karena negeri Pengharapan tidak bisa mendapat rekomendasi secara lansung untuk menemui mahasiswa, maka kamilah yang mendapat wewenang untuk menyampaikannya. Di dalam isi surat itu kami mendapatkan informasi bahwa seorang wanita yang bernama ibu Siti mengharapkan anaknya untuk bekerja di negeri kami.
Beliau sangat antusias dan gigih menemui negeri bagian Pengharapan. Beliau bercerita bahwa ia memiliki seorang anak laki-laki yang sekarang berstatus sebagai mahasiswa. Beliau sangat berharap agar anaknya suatu hari menjadi mahasiswa yang bahagia. Sayangnya, ia melihat anaknya berada di ambang keterpurukan. Harapan ibu Siti adalah: melihat anaknya memakai toga, dan membubuhkan gelar sarjana di namanya.
Demikian surat ini kami sampaikan kepada mahasiswa di seluruh dunia, agar harapan ibu Siti dapat terwujudkan".
Seketika air mata menetes dari kedua mataku. Nama itu, sebuah nama yang tak lagi asing bagiku, nama ibuku, ibu Siti. Aku tidak lagi merasakan massa, ruang angkasa dan tubuhku melebur, perasaan hancur. Aku pasrah, bahwa angkasa akan menjatuhkanku kembali ke bumi. Aku tidak peduli.
Memang, ketika pulang kampung dan berjumpa dengan ibu, aku sempat mengeluh karena sudah tidak sanggup menetaskan gelar sarjana. Di rumah, kadang aku sering bermenung dan menyendiri. Kadang aku malu, mengingat banyak sahabatku yang sudah menetaskan gelar sarjananya. Bahkan ada yang tiga setengah tahun.
"Awan, terima kasih atas suratmu. Ibu Siti adalah ibuku. Aku menghancurkan harapannya. Selama ini, aku memang banyak melakukan kesalahan pada ibu."
Awan tersenyum kemudian berkata, "Pulanglah mahasiswa, dan ketika bertemu dengan ibumu berceritalah sejujurnya. Ia pasti paham dengan kegundahanmu." Ia menangkapku, mengembalikan tegak badanku yang dari tadi terhuyung angkasa.
Sekarang aku merasakan kebahagiaan. Namun, untuk sementara aku ingin memberikan koreksi berharga untuk jiwaku.
"Awan, aku tidak mau pulang sekarang. Biarkan untuk sementara aku tinggal bersamamu. Ketika kegundahan itu telah sirna, aku pasti kembali dan menemui ibu," bujukku pada Awan.
"Baiklah. Tapi, sampaikan juga surat ini kepada mahasiswa yang lain. Agar mereka paham, beban dan tanggung jawab menjadi seorang mahasiswa begitu banyak."
"Biarlah mereka yang membaca surat ini ketika mereka sadar, sama sepertiku."
Awan tersenyum, dan sepertinya ia tak mau memulai pertengkaran denganku untuk kedua kalinya.
Komentar
Kirim Komentar