Tangisan Malam
Hendrika Era Farida
Suara tangis itu selalu saja terdengar ketika malam mulai larut. Malam ini aku semakin penasaran. Kulangkahkan kakiku ke dapur, tempat di mana suara itu pertama kali kuperkirakan muncul. Dengan takut-takut, kuarahkan telinga sebelah kiri mencoba untuk memastikan, suara apakah gerangan yang selalu mengganggu tidurku ini. Dengan bekal lampu teplok yang terletak di atas meja makan, aku mulai menelusuri sudut-sudut yang kucurigai sebagai asal dari suara aneh itu.
"Plak!" tiba-tiba aku mendengar ada suara benda jatuh.
Aku menoleh ke arah suara itu, tapi tidak ada apa-apa. Hanya suara mangkok plastik yang terjatuh karena disenggol kucing. Aku kembali pada tujuan pertamaku yaitu mencari asal suara aneh yang selalu mengganggu tidur malamku.
Aku memang baru sebulan tinggal di kampung ini. Sebenarnya aku sama sekali tak berniat tinggal di daerah pedalaman. Tapi, mutasi membuatku mau tak mau menerima dengan pasrah penempatan tugas yang kurasa sangat tidak adil ini.
Suara itu kembali menggema memecah kesunyian malam. Aku bertambah penasaran dibuatnya. Tapi aneh sekali tak ada seorang penduduk pun di kampung ini yang merasa terusik, bahkan orang yang tinggal di rumah yang sedang kutempati. Suara tangisan yang cukup keras itu sama sekali tidak bisa membuat mereka terbangun dari tidurnya. Mungkinkah karena mereka semua sudah terlalu letih karena bekerja di sawah seharian? Ataukah hanya aku sendiri saja yang bisa mendengar suara ini?
"Hanya aku sendiri?" tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Kulihat disekelilingku, ternyata aku sudah tidak berada di dalam rumah lagi, melainkan hampir mendekati sumur tua di belakang rumah. Dengan spontan, aku segera berlari masuk ke dalam lewat pintu dapur.
***
Keesokan paginya, aku ceritakan tentang suara itu kepada Uda Tojak. Dia adalah anak pemilik rumah yang sekarang ini, salah satu kamarnya kusewa sebagai tempat tinggalku.
"Sudahlah. Tak perlu kau pikirkan tentang suara itu."
"Tapi, Da. Suara itu membuatku tak bisa tidur sepanjang malam." ucapku.
"Tutup saja kupingmu kalau mau tidur. Pasti kau tidak akan mendengar suara itu lagi."
"Da, suara apa sebenarnya itu? Baru kali ini aku mendapati keanehan yang sungguh tak lazim dan sangat mengganggu istirahatku." tanyaku penasaran.
"Kan sudah kukatakan, tak perlu kau bertanya tentang hal itu!" katanya sambil berlalu dari hadapanku.
Ada apa ini? Mengapa Uda Tojak tak suka bila aku bertanya soal suara itu. Apakah ada yang mereka sembunyikan dariku tentang ini semua. Baiklah, aku tak akan bertanya lagi pada orang di rumah ini, tapi aku akan berusaha mencari tahu sendiri.
Sorenya, setelah aku pulang dari kantor, aku tak langsung menuju ke rumah melainkan ke kedai kopi di simpang jalan itu.
"Kopi ciek, Ni!" pintaku pada Uni penjaga warung.
"Yo. Sabanta dulu yo, Da."
Beberapa saat kemudian kopi pesananku datang. Kuteguk kopi itu sekali dua kali. Pikiranku mulai terfokus lagi kepada suara yang tadi malam kudengar.
"Hei, Burhan! Sedang apa kau di sini?" tiba-tiba Hasan datang menghampiriku.
"Oh, kau rupanya. Bikin aku kaget saja. Ini, lagi nyantai. Mau ngopi?" kataku sambil berbasa-basi menawarkan kopi yang sedang kuminum.
"Tidak usah, terimakasih. Aku tak boleh minum kopi. Nanti ginjalku kambuh lagi."
"Oh! Sebegitu parahnya sakit ginjalmu?" tanyaku prihatin.
"Yah, begitulah. Daripada nanti aku harus cuci darah tiap minggu, lebih baik dari sekarang kuhindari semua pantangannya."
"Kalau begitu minum teh saja ya? Ni, teh ciek lai!"
"Ah, tak usah! Aku tak lama di sini."
"Tak apa. Lagipula sudah kupesan tehnya."
Sambil menikmati kopi hangat yang tinggal setengah gelas lagi, aku berusaha menggali informasi atau paling tidak sedikit keterangan dari Hasan mengenai suara itu. Tapi, hasilnya tetap nihil. Malah Hasan tampaknya kurang senang dengan pertanyaan yang kuajukan. Dia segera meneguk tehnya dan pamitan pulang dengan alasan anaknya nomor tiga sedang sakit di rumah.
Tak dapat informasi apa-apa dari Hasan, aku tidak putus asa. Pertanyaan yang sama kuajukan pula kepada Ni Kadijah, pemilik kedai kopi tersebut, ketika aku hendak membayar kopi dan teh pesananku tadi . Namun, bukan jawaban yang kudapat. Lebih parah dari Hasan, wanita yang sudah kepala empat itu, sama sekali tak menggubris omonganku. Dia hanya diam dan langsung pergi ke arah dapur.
Sungguh aneh penduduk kampung ini. Mereka terkesan menyimpan sesuatu dari orang-orang pendatang seperti aku. Apakah yang sebenarnya mereka sembunyikan. Aibkah? Atau tindakan kriminal?
Senja beranjak gelap. Aku sudah bisa menebak, kalau malam ini tidurku bakal terganggu. Mungkin sebaiknya aku melaksanakan perintah Da Tojak saja. Menyumpal kuping ketika tidur agar suara itu tidak mengganggu lagi.
"Ah, ternyata menyumpal kuping tak juga bisa mengurangi kerasnya rintihan tangis yang kudengar." ucapku dengan kesal.
Aku segera keluar dari kamarku untuk kembali mencari tahu asal suara itu. Tapi, saat aku keluar dari kamar, Da Tojak sudah berdiri di depan pintu dengan membawa sebuah senter.
"Pasti kau tak bisa tidur lagi karena suara itu, kan?", katanya padaku.
"Ia, Da. Meski telinga ini sudah kusumpal dengan kain, suaranya tetap saja terdengar di telingaku."
"Kau mau tahu asal suara itu?" tanyanya dengan penuh selidik.
"Ya !" jawabku penuh semangat. Inilah saat yang paling kuinginkan saat ini.
"Baiklah. Tapi, apa pun yang nanti kau lihat atau pun kau dengar, aku harap kau bisa memahaminya."
"Memahami? Apa maksudnya?" tanyaku penasaran karena kalimat terakhir Da Tojak terdengar menyimpan suatu amanat yang teramat berat nantinya untuk dilaksanakan.
"Sudah. Jangan banyak tanya. Kalau kau mau mencari tahu asala suara itu, kita berangkat sekarang. Tapi, kalau kau masih bertanya terus, aku lebih baik kembali ke kamarku saja."
"Da Tojak! Aku tak akan bertanya lagi. Bawa aku ke asal suara itu sekarang." pintaku.
Kami berdua berjalan menyusuri jalan setapak, melewati beberapa areal persawahan dan menyebarangi sebuah kali yang tidak terlalu besar hanya dengan berbekalkan dua senter. Malam ini begitu gelap dan dingin, hingga terkadang muncul niat dihatiku untuk kembali ke rumah saja. Tapi, itu tak akan kulakukan. Aku harus tahu, siapa yang menangis hampir tiap malam itu sehingga membuat tidurku jadi terganggu.
"Burhan, apakah kau pernah dekat dengan seorang gadis?" tanya Da Tojak membuka pembicaraan.
Aku tertegun mendengar pertanyaan Da Tojak barusan. Tak biasanya dia berbicara mengenai topik percintaan. Jangankan percintaan, bicara hal lain saja, dia tak pernah punya waktu denganku. Atau mungkinkah dia mau berbagi cerita hanya untuk mencairkan suasana yang cukup mencekam ini.
"Pernah, Da. Bahkan, sekarang aku sudah bertunangan dengan gadis yang pernah dekat denganku."
"Selain tunanganmu?"
"Pernah juga. Tapi, kami hanya bersahabat saja. Dia juga sahabat dekat tunanganku."
"Oh." ucapnya sambil menganggukkan kepalanya beberapa kali.
"Memangnya kenapa, Da?"
"Tidak apa-apa. Kalau boleh tahu, siapa nama sahabatmu itu?"
"Zulbaidah. Kami sahabat karib ketika kami kuliah di kota beberapa tahun yang silam."
"Orang mana dia?"
"Aku tak ingat lagi. Apalagi waktu itu aku pernah kecelakan dan hilang ingatan sekitar dua tiga tahun. Dan setelah saat itu, aku tak pernah tahu lagi keberadaannya."
"Bagaimana kau bisa ingat gadis itu, sementara kau hilang ingatan?
"Marnis tunanganku yang menceritakan tentang Zulbaidah kepadaku, setelah kondisiku cukup pulih ketika itu."
Aku heran. Mengapa tiba-tiba Da Tojak bertanya demikian, seolah-olah dia mencoba membawaku pada masa lalu. Namun, aku tak ingin berbincang-bincang lagi dengan dia, karena suara tangisan itu semakin keras terdengar.
Nampaknya, asal suara itu sudah sangat dekat. Kulihat sebuah gubuk kecil berdiri di sebelah sudut dan membelakangi arah matahari terbit. Kurasa seseorang dalam gubuk itulah yang hampir tiap malam menangis dan merintih dengan pilunya.
Kami berjalan mendekati gubuk lusuh itu. Aku sangat prihatin melihat kondisi gubuk yang sudah reot tersebut. Cahayanya pun remang-remang. Mungkin gubuk ini hanya diterangi oleh satu lampu teplok saja. Di depan pintu berdiri seorang laki-laki paruh baya yang tidak lain adalah Uncu Da Tojak.
"Assallamualaikum, Ncu?", sapaku.
"Waalaikumsallam.", balasnya.
"Kenapa Uncu malam-malam di sini?"
"Tak usah bertanya pada Uncu dahulu. Lebih baik kau masuk saja sekarang. Bukankah wanita dalam gubuk ini selalu mengganggumu dengan tangisan-tangisannya? Lihatlah, siapa dia. Biar kau tidak bertanya-tanya lagi pada semua orang di kampung ini."
Uda Tojak bersikap semakin aneh dan kaku. Aku tak mengerti dengan tindakan dan kemisteriusan mereka. Apakah yang sebenarnya telah terjadi dengan wanita di dalam gubuk ini, sehingga orang-orang kampung merasa tidak senang jika aku menanyakan tentang dia.
Kubuka pintu gubuk itu perlahan-lahan, nampak seorang gadis muda dengan paras yang cukup manis, hanya saja rambutnya berantakan. Dia memandang wajahku lama-lama. Aku pun searasa tak asing dengan tatapan gadis itu. Dia pelan-pelan berhenti menangis dan melangkah mendekatiku.
"Burhan?"
Aku terkejut setengah mati, saat wanita itu menyebut namaku dengan pelan. Pikiranku seketika menerawang ke masa silam, mencoba menjemput sebuah kenangan yang seolah-olah pernah kulalui bersama gadis yang bersuara lembut ini.
Sial! Aku tak mampu menjemput kenangan itu karena tiba-tiba kepalaku terasa sakit bukan main. Aku segera meronta sambil memegangi kepalaku. Entah apa yang terjadi, sehingga kepalaku luar biasa sakitnya. Semua tiba-tiba menjadi gelap.
***
Kepalaku masih terasa sedikit pusing. Kucoba membuka mata perlahan-lahan. Aku heran, saat mataku terbuka, Bunda dan Marnis serta adik bungsuku Ihsan sudah berada di samping tempat tidurku.
Mereka semua menangis melihat aku membuka mata. Terlebih-lebih Bunda, beliau tak henti-hentinya memelukkku.
"Untung kau tidak apa-apa, Nak." ucap Bunda sambil menangis.
"Memangnya, Burhan kenapa Bunda? Burhan baik-baik saja. Tadi malam Burhan keluar rumah bersama Uda Tojak, mungkin masuk angin, makanya jadi seperti ini."
"Tidak, Burhan. Bukan itu yang menyebabkan kamu seperti ini."
Kemudian Bunda menceritakan sesuatu yang benar-benar tak kuduga sebelumnya. Ternyata Zulbaidah adalah kekasih di masa laluku, bukan Marnis dan pertunangan yang selama ini mereka ceritakan hanya omong kosong belaka. Kenyataan yang sesungguhnya, kami berdua saling mencintai tapi cinta kami tak mungkin bisa bersatu karena kami satu kampung dan parahnya satu suku pula.
Aku lahir dan dibesarkan di kota yang jauh dari kampungku. Selama aku hidup, Bunda tak pernah membawaku ke kampung halaman, tepatnya kampung ini. Aku hanya disuguhi cerita tentang kampungku, namun tak pernah menginjakkan kaki di tanah yang Bunda ceritakan itu. Aku tak tahu mengapa Bunda tak pernah mau membawa kami mengunjungi kampung halamannya. Entah masalah apa yang membuat Bunda jadi seperti ini. Tapi, inilah yang akhirnya menghancurkan cinta dan hidupku.
Aku yang tak bisa menerima kenyataan itu, langsung menjadi uring-uringan sehingga motor yang kukendarai menabrak sebuah truk Fuso dan setelah itu aku tak tahu apa-apa lagi. Sekarang yang kutahu hanyalah Zulbaidah yang sudah tak waras karena selama ini mengira aku telah meninggal. Bertahun-tahun dia larut dalam penderitaan yang penyebabnya adalah aku. Kini kami berdua harus menanggung penderitaan yang mungkin tak bisa disembuhkan lagi. Tapi, mengapa harus kami yang menjadi korban adat di negeri ini? Padahal kami tak sedarah, tak pula kerabat dekat. Tapi mengapa Bundaku sangat menentang hubungan kami dan mengapa akhirnya beliau pula yang membuka rahasia ini? Seandainya aku boleh meminta, lebih baik rahasia ini tak pernah terungkap untuk selamanya.
Komentar
Kirim KomentarDiana
22-01-2013 12:40 WIB
Nama Lengkapdoni
23-03-2013 07:39 WIB