Ketika Islam Tak dijadikan Padanan
Siti Nurasyiyah
Ketika Islam tak dijadikan padanan, itulah goresan kata yang tepat saat kabar buruk menimpa bundo kandung, wanita Minangkabau menari bugil dan tertangkap oleh Satpol PP kala asyik dengan lenggokan tarian striptis di Fella Café. Demi mendapatkan pemasukan, tubuh molek jadi jaminan. Kemudian, si hidung belangpun tidak melewatkan momen bezat, busuk dan laknat itu. kisah penyimpanagn asusila tersebut heboh diekpos oleh media cetak di Minangkabau pada Rabu, 28 September lalu. Kalau Singgalang menyebutnya dengan istilah menelanjangi Ranah Minang. Pasalnya, penari tersebut menari tanpa menggunakan sehelai benagpun di tubuhnya dan kebetulan tokohnya berasal dari Tanah Datar dan Agam Sumatera Barat
Peristiwa di atas sebenarnya bukanlah permasalahan yang aneh lagi, hanya saja dikemas dengan bentuk dan latar yang berbeda-beda. Sama halnya dengan aksi hubungan seksual di luar nikah, selingkuh, dan aktivitas pacaran muda mudi. Hal tersebut menjadi warna pemandangan di masyarakat Minangkabau modern khususnya. Sebagai akibat dari ketidakmampuan menyaring pengaruh perkembangan zaman dan kemajuan media komunikasi sehingga adat yang kental dengan nilai-nilai Islam mulai luntur. Misalnya dengan serba mudah berkomunikasi lewat Handphone, tidak jarang kita temukan kasus perceraian karena HP dijadikan sarana untuk selingkuh. Selain itu, tayangan TV semakin semarak dengan adegan komersilitas tubuh wanita sangat mendominasi. Bahkan, iklan-iklan yang ditampilkanpun tidak lepas dari tubuh wanita seksi. Sekalipun itu iklan rokok namun tetap saja wanita seksi dengan pakaian seperempat bugil tampil sebagai tokoh utama.
Lebih-lebih media internet, jika pengguna tidak selektif memilih situs, tampilan porno tersedia dengan jumlah yang tidak terbatas. Wajar saja jika hal tersebut mengkontiminasi pola pikir masyarakat Indonesia. Contohnya seperti style masyarkat hari ini, batasan aurat tidak lagi diperhatikan. Aturan menutup aurat dianggap omong kosong dan mengekang serta aturan primitif atau bahkan dibilang tidak gaul. Jika diperhatikan, jauh sebelum era modernisasi sejak tahun 620M. Islam telah mengenalkan tata seni dalam pergaulan. Salah satunya termaktub dalam firman Allah Q.S Alahzab ayat 59 " Wahai nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka menutupi jilbabnya keseluruh tubuh mereka yang demikian itu agar mereka tidak diganggu. Dan Allah maha pengampun Maha penyayang."
Ketika Allah memerintahkan kepada hambanya untuk menjaga aurat, sebenarnya Allah menjaga hamba-Nya agar harkat dan martabatnya lebih mulia. Bukan bermaksud mengekang kebebasan hambanya. Namun, kenyataanya umat Islam masih banyak yang tidak membuka hatinya untuk melaksanakan aturan Allah. Masih banyak terlihat wanita-wanita yang enggan menutupi auratnya. Alasanya, tidak begitu tahu tentang agama. Alhasil, tindakan penyimpangan asusila kian merebak di penjuru dunia. Allah Juga berfirman dalam Q.S. An-Nur ayat 31, "Dan katakanalah kepada perempuan beriman hendaklah Ia menjaga penadangannya dan kemaluanya dan jangan menampakan auratnya, dan hendaklah Ia memakai kain kerudung hingga ke dadanya…." Perintah Allah tersebut hendaknya bisa kita jadikan pandangan, bahwa Islam sangat menghargai akan derajat manusia.
Kembali membuka fakta sejarah bahwa bangsa Yunani dikenal sebagai bangsa yang mempunyai peradaban dan kebudayaan lebih tinggi dibandingkan bangsa lain di zamannya. Akan tetapi dalam catatan sejarah, wanita dalam masyarakat Yunani berada di puncak kemerosotan, wanita dianggap makhluk yang paling rendah, sumber penyakit dan bencana, Wanita hanya dijadikan budak oleh kaum laki-laki dan melampiaskan nafsu kebinatangan.
Begitu juga pandangan bangsa Romawi, wanita bisa berganti-ganti pasangan, sebagaimana yang diungkap Kardinal Gerum (340-450). Wanita saat itu ada yang menikah untuk kedua puluh tiga kalinya dan pada saat bersamaan ia adalah istri kedua puluh satu dari suami yang terakhir. Saat Islam lahir membawa ajaran Allah, tindakan demikian diharamkam dan derajat wanita sangat dimuliakan dan dilindungi. Namun, amat disayangkan jika wanita saat ini tidak bisa mensyukuri akan kasih sayang Allah kepadanya. Membiarkan diri untuk tetap menjadi budak-budak lelaki dan wanita pezina.
Sangat berbeda dengan Islam. Sebagai umat Islam tentunya kita harus bersyukur karena, keberadaa Islam mampu mengangkat kedudukan wanita sebagai makhluk yang harus dijaga dan lindungi oleh kaum pria. Namun, betapa meruginya, jika mengabaikan rambu-rambu Allah dan dijadikan bahan cemoohan. Mengganggap sekedar cerita belaka atau kita mengetahui aturanya namun tidak diamalkan. Kembali kita mengenang tentang Falsafah adat Minangkabau: Adat Basayandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mengato Adat Mamakai.
Oleh karena itu, Sebagai umat Islam, tentunya kita harus kembali mempelajari, memahami dan mengamalkan Alquran, Al-hadist serta membaca buku-buku yang berkaitan dengan pengetahuan Islam. Sehingga, ajaran Islam bisa dijadikan sumber landasan dalam menjalani kehidupan. Bergaul dengan orang-orang yang saleh serta selektif terhadap pengaruh budaya luar. Terakhir, meyakini bahwa sekecil apapun perbutan yang kita lakukan baik dan buruk pasti dibalasi kelak di akhirat. Karena, kehidupan di dunia tidaklah selamanya kekal, setiap yang memiliki nyawa pasti akan mati. Jika kita bertanya kepada pribadi kita, sudah berapa kesiapan kita menghadapi hari kematian kita? Tentunya hanya amal kita yang akan menjawab.
Komentar
Kirim Komentar