Sajak Ganto Edisi 163
Agusmanto, Mardho Tilla, Dedi Supendra
Sang Marrionette
inilah aku
teronggok diam di sudut ruangan
menanti tuanku datang
oooh
dia sudah datang
menghembuskan nyawa padaku
ya, aku menari dan berputar
serta meloncat-loncat
mengikuti gerakan yang diperintahkan oleh tuanku
hanya ekspresi senyum yang ad
a di wajahku saat menangis saat marah saat kecewa hanya ada senyuman di wajahku
Agusmanto; Sastra Indonesia dan daerah TM 2005
Demi dan Untuk Hari Ini
Celah - celah dinding dihujani peluru sinar
Menembus retina sayu
Kuhamparkan kertas putih di meja
Torehan tinta kelam menari dipermukaannya
Kursi tua berderik saat diduduki si rapuh
Mengeluh,…..
Tapi apa boleh buat,… beginilah adanya
Demi dan untuk hari ini
Mardho Tilla; Mahasiswa Kimia TM 2010
Hujan Paruh Kedua
Kata setetes hujan di tengah malam; aku tak lagi perwakilan Tuhan.Ini aku, hatimu.
Sembunyikan aku dari para penyamun
Aku tergagap; rinai bisa bicara!
Terburu-buru kau menyela; Jual aku pada sepasang malam.
Titipkan aku di ceruk purnama
Sungguh, badan ini sudah tak muda
Kau terbatuk-batuk, Lihat, sepertinya kau butuh selimut untuk istirahat,Dedi Supendra; Mahasiswa Teknologi Pendidikan TM 2008
Kritik Puisi
Puisi dan Ekspresi Diri
Zulfadhli
Puisi merupakan sebuah fenomena dan produk sosial. Hal ini bermakna bahwa yang terlihat di dalam puisi adalah sebuah entitas masyarakat yang bergerak, baik yang berkaitan dengan pola struktur, fungsi, maupun aktivitas dan kondisi sosial budaya sebagai latar belakang kehidupan masyarakat pada saat karya tersebut diciptakan. Puisi merupakan salah satu media yang menggambarkan kehidupan dengan mengangkat masalah sosial dalam masyarakat. Persoalan sosial tersebut merupakan tanggapan atau respon penulis terhadap berbagai fenomena yang ada di sekelilingnya, sehingga dapat dikatakan bahwa seorang penyair tidak bisa lepas dari pengaruh sosial budaya masyarakatnya.
Berbagai fenomena dan realitas sosial yang terjadi diekspresikan oleh penyair dalam puisi. Fenomena tersebut dapat dijadikan sebagai ide di dalam penulisan puisi. Hal tersebut tampak dalam puisi-puisi yang dipublikasikan Ganto edisi kali ini. Puisi Sang Marionette yang ditulis oleh Agusmanto menyuguhkan sesuatu tentang sosok aku yang tidak dapat berbuat apa-apa ketika berhadapan dengan seseorang yang disegani (atasan atau pimpinan). Inilah aku// teronggok diam di sudut ruangan// menanti tuanku datang//. Larik ini menggambarkan bahwa si aku hanya bisa terdiam terpaku menunggu kedatangan atasannya. Sebagai seorang bawahan, si aku tentu tidak bisa berbuat banyak di hadapan atasannya, kecuali hanya mengikuti setiap perintah yang diberikan oleh atasannya tersebut. Betapapun kadang kala setiap suruhan dan perintah atasan bertentangan dengan keinginan si aku, tetapi si aku tetap berusaha untuk tersenyum. Hal ini tampak pada larik hanya ekspresi senyum yang ada di wajahku// saat menangis// saat marah// saat kecewa// hanya ada senyuman di wajahku//. Inilah sebuah realita yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat. Bagaimanapun seseorang kadang kala punya keinginan, harapan, cita-cita, namun semuanya itu bisa ‘kandas’ ketika berhadapan dengan para penentu kebijakan.Pada akhirnya, tetap saja keinginan mereka juga yang terlaksana. Hanya ekspresi ‘seyuman’ yang tersisa. Puisi Demi dan Untuk Hari ini yang ditulis oleh Mardho Tilla menggambarkan sebuah kepasrahan dalam menghadapi kehidupan. ‘Mengeluh’, itulah kata yang sering didengar ketika manusia menghadapi banyak persoalan dalam kehidupan. Bukankah ini juga sebuah realita? Ketika manusia ditimpakan dengan berbagai bentuk kesusahan, penderitaan, kesengsaraan, maka yang sering terdengar adalah keluhan.
Kadang kala manusia tidak pernah merasa cukup dengan apa yang sudah dimilikinya. Manusia akan terus berusaha untuk memenuhi semua kebutuhannya. Namun, ketika gagal, maka mengeluhlah yang ada. Padahal, manusia dituntut untuk bersikap sabar atas segala bentuk kesengsaraan yang dialami. Dalam puisi Hujan Paruh Kedua, Dedi Supendra mengetengahkan tentang bagaimana memanfaatkan kesempatan yang ada, walau hanya setetes hujan di tengah malam. Peluang dan kesempatan itu seyogyanya dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Pepatah mengatakan "kesempatan tidak datangdua kali". Lewat Hujan Paroh Kedua, Dedi Supendra mengemukakan hal itu.
Selamat untuk Agusmanto, Mardho Tilla, dan Dedi Supendra. Teruslah berkarya, berimajinasi, dan ekspresikan ke dalam puisi. Salam.
Komentar
Kirim Komentar