Waspadai NII Tapi Jangan Fobia
Rio Handoko
Jika mendengar isu tentang Negara Islam Indonesia (NII), maka yang terlintas dalam pandangan masyarakat adalah kelompok yang ingin mengganti Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI) dengan Negara Islam Indonesia (NII) yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Akibatnya, serentetan persepsi negatif yang tidak saja berdampak buruk bagi komunitas NII, tapi juga terhadap Islam secara keseluruhan. Bahkan, akhir-akhir ini opini yang muncul tidak saja mengaitkan syariat Islam dengan NII, tapi juga menyematkan label terorisme kepada Islam yang tujuannya adalah untuk memojokkan Islam.
Dalam Al Qur’an Surat At-Taubah ayat 32 telah disebutkan bahwa, "Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai."
Walaupun sudah menjadi isu yang cukup mengkhawatirkan, namun belum banyak orang yang mengetahui tentang NII. Tentang apa itu NII KW IX beserta ciri-cirinya. Bahkan masih banyak yang belum tahu hal-hal apa yang membuat mereka digolongkan ke dalam kelompok sesat-menyesatkan. Sebagian orang hanya ikut-ikutan menganggap mereka sesat. Hingga tidak jarang muncul paranoid serta sikap menghindarkan segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam.
Beberapa ciri-ciri NII KW IX diantaranya adalah saat mendakwahi calonnya,, mata sang calon ditutup rapat dan baru akan dibuka ketika mereka sampai ke tempat tujuan. Selanjutnya calon utama mereka adalah orang-orang yang memiliki harta yang berlebihan atau anak-anak orang kaya yang jauh dari keagamaan. Sehingga yang terjadi adalah penyedotan uang para calon dengan dalih demi dakwah Islam.
Selain itu, pola dakwah yang relatif singkat, yaitui selama kurang lebih tiga kali pertemuan. Setelah itu, sang calon dimasukkan ke dalam keanggotaan mereka. Maka yang terkesan terjadi adalah pemaksaan ideologi, bukan lagi mengacu pada keikhlasan. Rata-rata, para calon memiliki kadar keagamaan yang sangat rendah. Selama hari terakhir pendakwahan, sang calon dipaksa dengan dijejali ayat-ayat yang mereka terjemahkan seenaknya hingga sang calon mengatakan siap dibai’at. Ketika sang calon akan dibai’at, ia harus menyerahkan uang yang mereka namakan dengan uang penyucian jiwa. Besar uang yang harus diberikan biasanya lebih besar dari Rp250.000. Jika sang calon tidak mampu saat itu, maka infaq itu menjadi hutang sang calon yang wajib dibayar.
Namun anehnya, kelompok ini tidak mewajibkan anggota wanitanya untuk menutup auratnya. Selain itu, mereka juga tidak mewajibkan anggotanya menunaikan shalat lima waktu dengan alasan belum futuh (masih fatrah Makkah). Padahal, mereka mengaku telah berada dalam Madinah. Padahal jika mereka tahu bahwa selama di Madinah-lah justru Rasulullah SAW benar-benar menerapkan syari’at Islam.
Menurut kelompok ini, sholat lima waktu diibaratkan dengan doa dan dakwah. Sehingga jika mereka sedang berdakwah, maka saat itulah mereka dianggap sedang mendirikan shalat. Sedangkan shalat jum’at diibaratkan dengan rapat/syuro. Bagi pemula diperbolehkan shalat yang dilaksanakan dalam satu waktu untuk lima waktu shalat. Kegiatan infaq dipaksakan per periode (bulan), sehingga menjadi hutang yang wajib dibayar bagi yang tidak mampu berinfaq.
Ciri lainnya adalah adanya qiradh, yaitu uang yang dikeluarkan untuk dijadikan modal usaha yang diwajibkan walaupun anggota tak memiliki uang, meskipun harus berhutang kepada anggota kelompok lainnya. Zakat yang tidak sesuai dengan syari’at Islam dengan takaran yang terlalu melebihi semestinya. Mereka menyejajarkan sang calon dengan Abu Bakar, sahabat Rasulullah SAW, dengan menafikan syari’at yang sesungguhnya. Tidak adanya mustahik di kalangan mereka, sehingga bagi mereka yang tak mampu makan sekalipun wajib membayar zakat/infaq yang besarnya sebanding dengan dana untuk makan sebulan. Bahkan, mereka masih saja memaksa pengikutnya untuk mengeluarkan ‘infaq’.
Syari’at Islam belum berlaku di kalangan mereka, sehingga perbuatan apapun tidak mendapatkan hukuman, termasuk berbohong dan mencuri milik orang lain. Selain itu mereka juga mengkafirkan orang yang berada di luar kelompoknya, bahkan menganggap halal berzina dengan orang di luar kelompoknya
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan 10 kriteria aliran sesat. Apabila ada satu ajaran yang terindikasi pada salah satu dari ke sepuluh kriteria tersebut, bisa dijadikan dasar untuk masuk ke dalam kelompok aliran sesat. Di antara kriteria tersebut yaitu : Mengingkari rukun iman dan rukun Islam, meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar`i (Alquran dan as-sunah), meyakini turunnya wahyu setelah Alquran, mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Alquran, melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah tafsir, mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul, mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir, mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah, mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i.
Namun, perlu dicatat beberapa hal yang benar-benar harus diperhatikan. Masyarakat hendaknya tidak mudah memvonis suatu ajaran sesat, tapi jika terindikasi memiliki salah satu dari ciri-ciri yang tersebut di atas, maka ada baiknya dilakukan proses tabayyun( kroscek) dan segera melaporkannya pada pihak yang berwenang, semisal MUI atau Ormas/Orpol Islam terdekat. Jika pun terbukti, Islam tidak pernah mengajarkan untuk menggunakan kekerasan dalam hal seperti ini, melainkan melalui jalur diskusi dan dialog. Kalaupun dibutuhkan tindakan tegas, maka wewenang itu berada pada pihak yang berwajib, dalam hal ini MUI, Kepolisian, Kejaksaan, dan tentu saja Pemerintah Daerah / Pusat.
Jika kita melihat dari berbagai kasus terkait NII yang muncul di permukaan, yang sangat menarik adalah dari setiap kasus tersebut kebanyakan korbannya adalah pelajar. Padahal seharusnya merekalah salah satu kaum intelektual yang memiliki pemikiran lebih luas dan kritis ketimbang dengan masyarakat pada umumnya. Pada konteks ini, seharusnya pelajarlah sebagai bagian dari kekuatan untuk membendung gerakan NII KW9 tersebut dan sejenisnya. Adakah yang salah dengan pelajarnya? Ataukah salah pendidikannya?
Mentoring merupakan sarana alternatif pendidikan non-formal sebagai bentuk pembinaan Islam untuk membentuk mahasiswa muslim yang berkarakter. Mentoring juga merupakan sarana efektif untuk menjaga dan menjauhkan diri dari masuknya ajaran yang sesat dan menyesatkan mahasiswa, serta memberi edukasi keislaman kepada mahasiswa agar mempelajari islam secara kaffah (menyeluruh). Fungsi mentoring Agama Islam adalah menumbuhkan kultur saling menjaga dan pembinaan Islam. Jika kita melihat dan mempelajari karakter yang luar biasa pada para sahabat Rasulallah SAW dan ulama-ulama Indonesia yang lahir dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, maka terlihatlah betapa penting bagi umat muslim sekarang membentengi diri dengan pembinaan keislaman sebagai bentuk pendidikan berkarakter.
.
Komentar
Kirim Komentar