Sajak Ganto Edisi 162
Santi Syafiana, Cici Nur Azizah, Elvia Mawarni
Kisah yang Terpinggirkan
Kayu tua
Dikerubung anai-anai pemerkosa
Lebur sudah
Buang jauh-jauh dengung itu
Hempaskan ke pulau terujung dari segala ujung-ujung cakrawala
Gerigi menikam, menembus, membuat serpihan
Tertabur sudah
Di hamparan bumi yang meronta
Terinjak alas kaki yang tak pernah lupa disemir
Binasa sudah
Hanya tertinggal tetesan embun asin di rerumputan yang kuinjak pagi ini
Memanggil kisah yang memuai bersama kisah-kisah lainnya
Santi Syafiana; Mahasiswa Pendidikan Kimia TM 2007
Seruanku
Amanatmu!
Fatamorgana yang tergenggam
Dulu dan tempoe doeloe
Haluan temaram meraba suasana kelam
Alih punya alih, alihkan
Hangtuah berkata!
Engkau akan sampai di pelataran dermaga
Deburan ombak mengalunkan melodi
Ratapan angin menghujat perjalanan
Akankah traktat itu berkisah manis
Yang depan harus di depan
Akankah saimbara itu termenangkan
Namun seruan kalbu menyerukan
Angan yang terwujud, senantiasa terwujud
Cici Nur Azizah; Mahasiswa Prodi PKN TM 2010
Tuhanku Menangis
Nguing... Nguing...Nguing...
Tak lagi kudengar lengkingan itu
Samar...
Lengang...
Alif Ba Ta menghilang
Sarung para Bapak dikerubungi rayap
Jalanan berduri
Tuhanku menangis
Bulan bintang terbang ke singgasananya
Elvia Mawarni; Mahasiswa FMIPA UNP TM 2009
Kritik Puisi
Bunyi dan Nilai Estetis Puisi
Oleh Zulfadhli
Salah satu unsur yang membangun kepuitisan sebuah puisi adalah aspek bunyi. Bunyi memegang peran yang sangat penting dalam puisi. Kemampuan penyair dalam menyusun dan merekonstruksi bunyi melalui diksi yang ditampilkan, tentu akan memberikan warna estetis tersendiri dalam puisinya. Bunyi di dalam puisi, tidak hanya sekedar memberi nilai keindahan terhadap sebuah puisi, tetapi bunyi juga turut menentukan makna puisi. Bunyi dalam puisi akan memberikan kesan dan efek tersendiri. Begitu pentingnya kedudukan bunyi dalam puisi, maka Roman Ingarden menempatkan bunyi sebagai lapis pertama dalam teori strata norma puisinya yang dikenal dengan lapis bunyi (sound stratum).
Di samping itu, bunyi di dalam puisi juga menyuguhkan dan menciptakan suasana tertentu. Suasana dalam puisi dapat diketahui melalui permainan bunyi yang digunakan oleh penyairnya. Kombinasi dari bunyi-bunyi vokal atau konsonan misalnya, tentu akan menimbulkan suasana tertentu dalam sebuah puisi. Dengan demikian, salah satu sarana kepuitisan yang dapat menimbulkan nilai estetis sebuah puisi adalah bunyi, sehingga ada puisi yang kekuatan dan keindahannya terletak pada kemampuan penyair dalam mendayagunakan bunyi.
Di dalam puisi-puisi yang ditampilkan Ganto edisi kali ini, penyair menyuguhkan permainan bunyi dengan gayanya masing-masing. Puisi Kisah yang Terpinggirkan yang ditulis oleh Santi Syafiana, memperlihatkan bahwa ‘kekuatan’ bunyi dapat menimbulkan kesan dan suasana tertentu dalam puisi. Puisi ini menggambarkan tentang kejadian atau peristiwa masa lalu yang sudah terlupakan. Peristiwa itu seakan-akan Dikerubung anai-anai pemerkosa. Kini, semua mimpi, keinginan, dan harapan telah berakhir, Lebur sudah, Binasa Sudah. Namun, Hanya tertinggal tetesan embun asin di rerumputan yang kuinjak pagi ini. Dari segi bunyi, dalam puisi ini terdapat bunyi aliterasi /m/ pada larik Gerigi menikam, menembus, membuat sepihan. Bunyi aliterasi adalah persamaan atau pengulangan bunyi konsonan dalam satu larik. Dalam larik-larik yang lain juga dijumpai bunyi aliterasi /g/, /h/, /r/, /k/, /s/. Perpaduan bunyi konsonan yang dominan dalam puisi ini, menimbulkan kesan dan suasana yang mencekam, buram, gelisah, dan menakutkan. Kesan dan suasana ini ditimbulkan oleh perpaduan bunyi-bunyi konsonan. Di dalam teori puisi, bunyi seperti ini disebut dengan bunyi kakafoni.
Puisi Seruanku karya Cici Nur Azizah, juga didominasi oleh bunyi aliterasi. Misalnya aliterasi /m/ pada larik Haluan temaram meraba suasana kelam. Aliterasi /n/ pada Namun seruan kalbu menyerukan, Ratapan angin menghujat perjalanan. Secara keseluruhan, puisi ini juga memanfaatkan bunyi kakafoni.
Pemanfaatan jenis bunyi yang lain juga dapat dilihat dalam puisi Tuhanku Menangis yang ditulis oleh Elvia Mawarni. Puisi ini menggambarkan suasana ketika manusia tidak lagi patuh terhadap Tuhannya. Manusia tidak lagi menjalankan perannya sebagai makhluk Tuhan. Hal ini tampak pada larik Alif Ba Ta menghilang, Sarung para Bapak dikerubungi sayap. Jalanan berduri berarti manusia hidup dalam kesengsaraan. Di dalam puisi ini, penyair juga memanfaatkan bunyi anomatope. Anomatope (tiruan bunyi) artinya adalah penggunaan kata yang mirip dengan bunyi sesuatu. Misalnya pada kata Nguing...Nguing...Nguing...tak lagi kudengar lengkingan itu. Pemanfaatan bunyi seperti ini juga akan menimbulkan kesan atau suasana tertentu dalam sebuah puisi.
Bunyi di dalam puisi tidak hanya menentukan nilai estetis sebuah puisi, tetapi juga menentukan makna sebuah puisi. Dengan demikian, bunyi merupakan salah satu sarana yang dapat dimanfaatkan oleh penyair untuk menimbulkan efek kepuitisan di dalam puisi.
Selamat untuk Santi Syafiana, Cici Nur Azizah, dan Elvia Mawarni. Teruslah berkarya, berimajinasi, dan ekspresikan ke dalam puisi.
Komentar
Kirim Komentar