Romansa Kematian
Santi Syafiana
"Ini akan lama, aku harap kau bisa bersabar." Sekuat tenaga Reno melontarkan kalimat ini di sela isaknya yang menusuk. Masih berpakaian hitam-hitam, Ia sandarkan tubuh lemahnya di sofa. Ia bersidekap pada bantal berbentuk kubus dengan sesekali menggigit ujung-ujung gabus yang dekat dengan mulut. Ini sudah menit ke 35 dimana Reno tetap setia pada cucuran air matanya. Dimenit ini juga, Andam yang sejak tadi duduk di sebelah Reno mengangguk dan beringsut menjauhi tubuh tak bersemangat itu. Membiarkannya teronggok begitu saja di sofa kusam ruang tamu. Andam tak berselera merangkai kata apa pun. Ia bingung. Bukankah ini yang selama ini Reno inginkan?
Seminggu berlalu, Andam kembali mengunjungi lelaki, calon suaminya nanti. Ia pun mendapati Reno tergeletak di tempat yang sama. Ia terkulai tak berdaya. Dari tetangga sekitar, Andam mendapat kabar kalau Reno berulang kali pingsan di gumpalan tanah yang masih merah dan wangi melati yang kentara. Kini, rahang yang dulunya gempal terlihat cekung. Mata yang biasanya menyorotkan semangat muda itu, seakan mau keluar karena kelopaknya yang pesut dan menghitam. Lagi-lagi tak ada sepatah kata pun ia ucapkan. Hati Andam ikut teriris bukan main.
Waktu pun berlalu tanpa bisa dinegosiasi untuk berhenti barang sejenak. Genap sebulan Reno menghabiskan harinya dengan berduka lara. Hal ini berbuntut pada kandasnya rencana-rencana yang sudah jauh hari dipersiapkan. Gaun penganten Andam tergantung begitu saja di sudut lemari. Andam pun enggan melipat dan merapikannya. Kebingungan akan sikap Reno yang dingin dan tak bersemangat membuatnya malas. Ditambah lagi dengan tak adanya tindak lanjut batalnya pernikahan itu dari Reno.
Sejatinya, Andam rela-rela saja menunggu tanpa kepastian apa-apa, namun keluarganya tak bisa. Andam pun mempertanyakan kepastian itu dengan nada sedikit mendesak seperti dicontohkan ibunya. "Aku harap kamu jangan banyak bertanya dulu, doakan saja tak akan selamanya begini."Ucapan yang terlontar dari mulut Reno ini bernada datar dan biasa saja. Dan tentu saja tak memberi penjelasan apa-apa. Sama sekali bukan jawaban yang dikehendaki Andam untuk dihidangkan kepada keluarganya nanti. Alhasil pergi dengan tanda tanya, pulang pun tetap sama. Andam yang malang, bisik tetangga yang setiap hari bergunjing tentang ia dan Reno.
***
Kala itu, hujan deras dan petir menyambar. Reno datang ke-kosan Andam dengan muka lebam dan punggung yang penuh garis-garis merah. Andam pun menyeka tubuh memar itu dengan handuk yang direndamnya dengan air ngilu-ngilu kuku. Mereka adalah mahasiswa tingkat pertama yang sudah jadian sejak kelas 1 SMA. Kejadian seperti ini pun tak sekali ini dialami Andam. "Mengapa ayahmu bisa sekejam ini?" Pertanyaan ini pun berulang kali. Andam juga merasa pedih. Reno hanya meringis kesakitan dengan sesekali bersumpah serapah tentang ayahnya yang kasar dan suka main tangan.
"Aku hanya bilang, komunis itu sebuah sistem pemerintahan. Bukan keyakinan anti agama atau atheis seperti yang dipercaya orang lama. Itu hanya paradigma yang dihembus-hembuskan agar masyarakat memerangi PKI." Andam bergidik tak percaya atas penyebab luka yang bersarang di tubuh Reno. Entah lelaki berdarah apa ayah Reno ini, gidik Andam tak habis pikir. "Melihatnya begitu, aku ingin sekali membunuhnya." Ujar Reno yang tentunya untuk kesekian kali di telinga Andam.
Sekarang tentang beda pendapat. Dulu karena salah mengartikan kopi menjadi kopi susu. Dulunya lagi karena lupa mengambil barang yang dititipkan teman ayah ke rumah yang biasa Reno lewati pulang pergi sekolah. Besok entah apa lagi. Ayah Reno memang dikenal sangat temperamental. Ibu Reno pun tak terkecuali mendapat bentakan tajam bahkan tamparan yang membuatnya kelihatan lebih tua dari umur. Entah bagaimana perempuan ini bisa menikahi lelaki yang Reno rasa hanya memberi penderitaan padanya dan ibu. Mereka berdua memiliki sifat yang bertolak belakang. Ibu Reno adalah sosok yang penyabar dan tenang. Tak ayal, kehadiran sang ibulah yang membuatnya tegar menjalani hidup bersama ayah. Ibu lah yang mengingatkan agar terus bersikap hati-hati agar ayah tak terpancing memarahi bahkan memukul.
"Bagaimana kalau ngekos aja,"Andam mencoba memberi solusi. Reno pun menggeleng, Ia takut meninggalkan ibunya sendirian. "Bisa-bisa ia dapat bogem dua kali lipat." Setelah itu Andam diam. Untuk saat ini, Andam hanya ingin jadi pendengar yang baik buat Reno. Menghujaninya dengan pertanyaan dan masukan atau nasehat tak akan berguna sama sekali. Toh Reno tak akan bisa meninggalkan rumah itu.
Tak lama, tepatnya di tahun ke empat kuliah mereka. Reno dikejutkan oleh suara dari telepon genggam yang mengabarkan sang ibu telah berpulang ke rahmatullah. Meninggal tiba-tiba begitu saja. Tak ayal Reno tak percaya karena sepeninggalnya tadi untuk kuliah, ibunya sehat-sehat saja. Andam pun ikut berlari mengekori Reno ke rumah duka tempat sang ibu dipersiapkan untuk dibawa ke liang lahat.
Prosesi demi prosesi sebelum jenazah dikuburkan pun dilakukan. Andam terus menemani Reno demi menjaga kalau-kalau ia jatuh tersungkur akibat gamang ditinggal ibu. Untunglah yang ditakutkannya tak terjadi. Reno tampak tegar duduk di samping jenazah ibunya yang terbujur di ruang tengah. Ia pun sanggup menjadi imam shalat dan mengangkat keranda ke pekuburan. Setelah jenazah ibunya dikuburkan dan berganti dengan gundukan tanah, barulah Andam melihat bulir kristal menitik di pipi Reno. Tak lama, mata itu terpicing, kepala terpekur dan air mata berhenti. Andam salut dengan ketegaran itu.
"Tinggal kau dengan ayahmu." Reno tahu kemana ucapan Andam ini bermuara. Seketika Reno menggelengkan kepala. "Aku tak akan meninggalkan ayah seorang diri, setidaknya itu keluarga yang kumiliki." Reno pun berbalik arah mencari-cari batang bunga mawar yang bisa ia tanam di makam ibunya.
***
"Sudahlah Andam, jangan kau berorientasi pada yang tak pasti."Ayah Andam kian tak suka dengan keputusan anaknya untuk menunggu lelaki yang belum berhenti berkabung itu. Andam juga tak mengerti mengapa ia nyaman berlayar dalam ketidakjelasan. Namun ia juga tak mau egois mengabaikan desakan keluarga agar segera menikah.
Tak bisa lagi menolak, Andam kembali mengunjungi rumah yang tak asing lagi di matanya. Pot bunga di halaman berantakan dengan bunga layu tak disiram. Teras pun banyak debu dan berkerak. Andam mengetok pintu perlahan. Tak perlu menunggu lama, pintu itu pun terbuka. Reno memandang Andam dengan tatapan tak biasa. Mereka pun menduduki dua sofa kusam dan apek. Berdampingan kaku layaknya orang yang baru saling kenal.
"Bagaimana pernikahan kita?" Andam bertanya tak sabar. Reno diam. "Baiklah." Andam melanjutkan kalimatnya. "Sebenarnya aku tak membutuhkan jawaban pertanyaan tadi." Seketika Reno menggeser tubuhnya serong ke samping. Melihat ke arah Andam menunggu kalimat selanjutnya. "Aku hanya ingin tahu, mengapa ketika ibumu meninggal, air matamu tak lebih dari dua tetes. Namun, ketika ayahmu, mengapa kau se-menderita ini?" Reno pun menatap ke dua bola mata Andam dalam-dalam. Perlahan, mulutnya yang tadi mengatup, terbuka. "Hari-hari ku gersang, karena aku terbiasa hidup dengan perasaan terancam."Andam pun tegak dan berjalan menuju pintu. Ia berfikir apakah itu sebuah jawaban atau malah sebuah pertanyaan baru.
Kritik Cerpen
Oleh M. Isa Gautama, M. Si.
Reinterpretasi Realitas di Tangan Syafiana
Sebagai sebuah media ekspresi, maka karya fiksi, termasuk cerpen, memiliki ruang yang luas untuk eksplorasi dan eksperimen. Cerpen, sebagai sebuah ruang, ibarat galeri di mana ribuan lukisan terhidang. Ruang itu, adalah diri si cerpenis, lengkap dengan cara dia memandang dinamika zamannya. Pada tataran ini, cerpen menjadi sebuah dunia baru yang memberi efek dan peluang seluas-luasnya untuk dimaknai ulang oleh dua pihak.
Pihak pertama, adalah pengarang di balik cerpen itu sendiri. Cerpenis adalah individu yang (mesti) memiliki kepekaan intuitif dan reflektif, melihat dunia dengan daya analisis yang multidimensi. Ia tidak cukup hanya memainkan peran sebagai seorang "fotografer" terhadap dunia yang dialami. Lebih jauh, ia haruslah mampu merangkap tugas dan fungsi seorang "pelukis", "pemahat", dan "penjahit" realitas. Dunia yang dilihat oleh orang awam sebagai dunia "telanjang", maka oleh cerpenis dunia yang dilihat orang awam adalah "dunia mentah" yang diolah sedemikian rupa menjadi "dunia jadi".
Cerpenis harus mampu memahat realitas menjadi realitas "kedua" yang meskipun fiktif, namun merefleksikan keadaan zamannya. Dua, realitas dalam fiksi yang bermutu tentu saja adalah fiksi yang tidak mengada-ada atau tercerabut dari dunia sebenarnya. Ia mesti tetap esensial, sehingga siapapun yang membaca akan merasa tetap berada di dalam dunia realitas alamiah meskipun ia membaca sebuah "realitas baru". Kemampuan dan intensitas untuk mencapai derajat seperti itu memang butuh latihan-latihan dan pengalaman yang intensif, baik sebagai cerpenis yang juga "peneliti", maupun sebagai orang awam yang punya sensitifitas untuk tidak ingin melihat dunia secara apa-adanya, apalagi klise.
Sisi kedua, adalah pembaca. Pembaca yang memperlakukan sebuah karya fiksi sebagai sesuatu yang punya nilai, (orang Inggris menyebutnya value) pasti akan merasa tercerahkan setelah membaca sebuah cerpen, apalagi cerpen bermutu, cerpen itu menyihir dan memberikan masukan berharga untuk perbaikan kemanusiaannya. Untuk itu, memang wajar saja misalnya: sebuah cerpen bagus belum tentu diapresiasi bagus oleh seluruh orang. Kenapa? Tiap-tiap orang memiliki kadar reseptif yang berbeda terhadap objek yang dinilainya, termasuk fiksi, apapun genrenya.
Cerpen Romansa Kematian menyiratkan banyak hal, Sayang, ruangan kritik ini begitu sempit. Yang paling menonjol untuk ditulis di sini adalah, begitu kentara cerpenisnya tak ingin hanya jadi sekadar "fotografer". Syafiana telah menerobos "penjara" dirinya sebagai "orang awam". Realitas ditangkapnya, diinternalisasinya. Bayangkan, isu komunisme yang supersensitif didekonstruksi secara cukup meyakinkan oleh Syafiana.
Produk dekonstruksi itu kemudian ia warnai (lukis) dengan penokohan, alur, konflik, dan pesan manifest-laten. Lantas ia jahit, adegan per adegan, laksana film. Ada keceradasan di sana. Ada kreatifitas, manakala pembaca diberi kejutan tak terduga di akhir cerita. Pembaca yang tidak cukup cerdas akan menganggap aneh tokoh Reno. Tapi, realitas yang dipahat, lukis, dan jahit Syafiana bukanlah suatu hal yang mustahil. Sekali lagi, cerpen adalah dunia mungkin yang setiap detik merayap di seluruh pelosok realitas. Berkaryalah selalu, Syafiana!
Komentar
Kirim Komentar