Islam Singgah Dalam Karya Sastra
Dwi Utari Kusuma
Dunia sastra saat ini telah mengalami banyak fase perubahan yang tidak asing lagi bagi sebagian orang. Setiap zaman membawa sebuah aliran baru dalam sastra. Kecenderungan seseorang untuk menikmati sebuah karya sastra tidak selalu tetap atau bersifat relatif. Kenyataannya tidak semua orang bisa membuat sebuah karya sastra yang indah dan menarik. Namun sebagai seorang Muslim, yang berpegang pada aturan Islam, tentunya harus mengetahui bagaimana Islam memandang sebuah karya sastra, serta bagaimana kriteria karya sastra yang Islami itu.
Karya sastra islami cukup mendapat perhatian banyak kalangan belakangan ini. Di toko-toko buku, tidak jarang ditemukan novel-novel religius atau bertemakan keislaman menjadi best seller. Namun, dalam memberikan prediket islami harusnya pembaca menganalisis karya tersebut. Sebab ternyata tidak semua karya yang bertitelkan islam juga mempunyai misi islami.
Untuk melakukan penilaian terhadap suatu karya sastra, apakah karya tersebut dinyatakan slami atau tidak, ternyata cukup sederhana. Sastra Islami paling tidak harus memiliki dua unsur kelengkapan, yaitu Tauhid dan Misi Perbaikan. Suatu karya sastra dapat dinilai Islami apabila mangandung ruh tauhid. Sebagaimana yang kita ketahui, esensi Islam itu adalah nilai ketauhidan, yang terangkum dalam kredo Laa ilaha illallah. Sedangkan misi perbaikan berarti ada hikmah yang dapat dijadikan pelajaran dari sebuah karya sastra. Bukan hanya dinikmati, tapi juga mengandung nilai pendidikan bagi individu.
Namun konsekuensi dari batasan penilaian itu membuat tidak mudah bagi kita untuk begitu saja menilai sebuah karya sastra. Contohnya Layla Majnun karya Nizami Ganjavi yang diterbitkan ulang oleh Navila pada tahun 2005. Sepintas pembaca awam akan mengatakan ini merupakan sastra islami, karena di dalam ceritanya dibumbui oleh pernik islami. Namun jika dilihat esensi dari karya tersebut, ceritanya sama sekali tidak menggambarkan bagaimana kehidupan secara islami pada alur ceritanya, kisah percintaan yang membuat seseorang bahkan hampir gila karena terlalu cintanya bukanlah ajaran yang islami. Kalau toh kita ingin mengatakan karya tersebut Islami, maka kita seharusnya cuma mengatakannya Islami secara artificial, bukan hakiki.
Bukan hanya Layla Majnun, yang memang merupakan kisah-kisah lama yang kembali dibukukan saat ini. Beberapa karya sastra terbitan baru yang bahkan sama sekali tidak menggambarkan kehidupan yang islami pada kehidupan tokohnya. Label islam bisa tampak pada cover atau judul karya tersebut, namun tidak pada makna yang bisa ditangkap pembaca setelah membaca karya tersebut.
Islam mengenal konsep "ada amal, ada niat". Konsep niat dalam konteks di sini mengacu pada nilai keilahiyan dan kerabbaniyan. Kedua nilai ini dapat diciptakan dalam suatu karya sastra, melalui nuansa cerita atau syair yang mampu menghadirkan persepsi bahwa pusat segala hidup dan kehidupan hanyalah Dia, Allah Yang Maha Tunggal. Keberadaan Allah bukan hanya sekedar pengucapan dengan kata-kata saja, melainkan pengagungan sepenuhnya. Sehingga tidak ada yang namanya pengagungan pada dzat lain selain Allah, seperti pada cinta dua orang manusia, pada harta, atau benda-benda ciptaan Nya, seperti matahari, api, berhala (dalam segala bentuknya) dan sebagainya.
Maka ketika sang penyair atau cerpenis (dalam bagian setting-nya misalnya) berdeskripsi tentang gunung-gunung, langit, bulan, matahari dan bintang-bintangnya atau laut beserta apa yang ada di dalam dan di atasnya, dia berusaha menghadirkan Tuhan di dalamnya, meski tidak selalu eksplisit. Dia tidak sekedar menghambur-hamburkan kata yang cuma bertujuan menenggelamkan pembaca dalam keindahan karya sastra yang tercipta. Misalnya dikatakan dalam sebuah karya sastra, " Matahari seakan diciptakan karena cinta, rembulan juga bercahaya karena cinta. Jika tidak ada cinta mustahil air laut akan mencapai pantai.." bukankah penciptaan matahari, bulan dan air laut yang mencapai pantai itu adalah Allah yang mengaturnya? Dan ingatlah bahwa segala sesuatunya di jagad ini bertasbih memuji kebesaran Allah. Kenapa bisa seorang muslim berlaku lalai dengan melukiskan kata-kata membuai tersebut dengan mengindahkan kebenaran yang berlaku?
Ketika penyair berdeskripsi tentang langit, gunung atau guruh yang bergemuruh, namun tidak menghadirkan nuansa tadzkirah kepada-Nya, maka itu sama dengan ia telah berdusta dan sekaligus menjadi orang yang jahil. Karena ia tidak mengatakan kebenaran hanya agar karya sastranya diminati pembaca, tanpa mengindahkan esensi yang ada di dalamnya. Allah telah memberi tahu kita bahwa mereka (segala ciptaan tersebut) tak pernah lalai dari bertasbih (berdzikir). "Dan guruh bertasbih memuji-Nya…." (QS. Ar Ra’du: 13). "Dan dia telah mengendalikan malam dan siang untuk melayani kamu; dan matahari, bulan dan bintang-bintang semua patuh kepada perintah-Nya…" (QS. An Nahl: 12). "Dialah yang mengendalikan samudra bagimu… dan kamu lihatlah kapal-kapal membelah lautan.." (QS. An Nahl: 14). "Tidakkah kamu lihat bahwa bahwa semua makhluk, baik di langit maupun di bumi, memuja Tuhan; pun burung-burung?" (QS.Al A’raf: 158).
Dalam konteks ini, penulis bukan bermaksud untuk "mengharamkan" karya sastra yang tidak mengandung unsur tersebut, melainkan mengajak untuk menelaah lebih dalam tentang karya sastra Islami. Tidak malukah kita kepada alam semesta beserta isinya karena kita berbual-bual tentang mereka, namun ternyata tidak lebih tahu dari sekalian makhluk yang tidak berakal (ghairu aql).
Selain unsur tauhid di atas, karya sastra juga mesti memiliki unsur berupa misi perbaikan. Sebagai agama Rahmatan lil’alamin, Islam tidak menghendaki penganutnya berhenti pada takaran keyakinan (iman) saja, akan tetapi juga harus mampu menciptakan implikasi-implikasi kebaikan. Islam sebagai Rahmatan lil’alamin memiliki konsekuensi logis bagi keniscayaan Islam untuk menyusup ke segala penjuru angin kehidupan, tanpa terkecuali, termasuk pada bidang sastra. Sastra sebagai media penyampai aspirasi yang tak bebas nilai, yang tentunya di dalamnya sudah banyak menampung berbagai nilai lain, mengundang islam lewat para penyerunya untuk singgah di dalamnya dan mengadakan perbaikan dari dalam.
Tentang bagaimana cara penyampaian aspirasi atau pengenalan Islam melalui kesusasteraan, Pemerhati masalah keislaman, Suparto, M.Md mengatakan bahwa tak perlu diperdebatkan. Menurutnya apakah kita akan memakai caranya Helvy Tiana Rosa (HTR) cs, yang penuh dengan ‘dekor-dekor’ keislaman yang pekat atau caranya Saudara Bahtiar HS (BHS), yang kurang setuju dengan cara yang ditempuh HTR tersebut. Terserah dorongan jiwa dan kemampuan kawan-kawan sastrawan Muslim.
Menurut Suparto lagi, cara yang ditempuh oleh HTR yang kemudian banyak diikuti oleh banyak sekali penulis belum tentu memiliki efek perbaikan (islah) yang lebih buruk daripada daripada cara yang digagaskan oleh BHS. Demikian pula sebaliknya. Bahkan boleh jadi karya HTR yang penuh dengan dekor-dekor keislaman itu lebih mampu menciptakan keingintahuan masyarakat, termasuk khalayak non-muslim. Sedangkan masalah keapriorian tanggapan dari khalayak, terutama khalayak pembaca non-muslim itu relatif.
Contohnya saja, coba kita dengar atau baca kisah-kisah masuk Islamnya orang-orang kafir. Baik kisah-kisah yang terdahulu (dari masa nubuwah Muhammad saw) sampai pada abad ke-20 atau abad millennium kini. Umar ibn. Al Khathab ra,misalnya, berguncang-guncang hati dan tubuhnya setelah mendengar bacaan Al-Quran, apalagi setelah membacanya sendiri. Sekarang, di zaman kita ini, ada Prof. Maurice Buchail, Prof. Roger Garaudy, Maryam Jamilah, Cat Stevens, banyak pastor, pendeta, biarawan/biarawati serta barangkali jutaan orang lainnya yang masuk islam setelah berinteraksi secara intens dengan Al Quran.
Ternyata sesuatu yang penuh dengan dekor-dekor keislaman lebih mampu menciptakan awal datangnya perbaikan dan pencerahan. Ingatlah, bahwa masalah hidayah adalah sesuatu yang berada di luat logika otak kita. Ia hanya ada dalam wilayah logika keimanan. Sesuatu yang menurut kita baik (akibatnya), belum tentu baik dalam rencana-Nya. Maka mulailah kita membuat suatu karya sastra yang memiliki unsur tauhid dan perbaikan.
Komentar
Kirim Komentar