• Tentang Kami
  • Redaksi
  • Ketentuan Penggunaan
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Hubungi Kami
  • Facebook
  • Twitter
  • RSS
Ganto.co

, WIB
  • Home
  • Berita
  • Info Kampus
  • Sastra & Budaya
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
    • Catatan Budaya
  • Ganto TV
  • Ganto Foto
  • Artikel
  • E-Paper
Temui Massa, Ketua DPRD Sumbar Tandatangani Tuntutan Massa

Temui Massa, Ketua DPRD Sumbar Tandatangani Tuntutan Massa

Surat kekecewaan Terhadap BEM FIS UNP Seruan Aksi 11 April 2022

Surat kekecewaan Terhadap BEM FIS UNP Seruan Aksi 11 April 2022

Berita Terbaru

  • 22-05-2022Desainer Grafis Kabar Sejuk: Desain Bukan Sekedar...
  • 20-05-2022Tampil di Lubuklinggau, Dosen UNP Pemateri...
  • 18-05-2022Sukseskan UTBK SBMPTN 2022, Satpam UNP Beri...
  • 18-05-2022Hari Pertama Pelaksanaan UTBK di UNP

Kategori

  • Laporan 2 Edisi 218
  • Laporan 1 Edisi 218
  • Universitas Negeri Padang
  • PPG SM3T
  • Bimbingan dan Konseling
Sawah Tempat Sampah Bermuara

Sawah Tempat Sampah Bermuara

Penundaan Pemilu dan 3 Periode Joko Widodo serta Potensi  Lengser  yang Nyata

Penundaan Pemilu dan 3 Periode Joko Widodo serta Potensi Lengser yang Nyata

Artikel Terbaru

  • 07-04-2022Glass Ceiling: Ketimpangan Gender di Tempat Kerja
  • 03-04-2022Antara Sekolah, Kapitalisme, dan Sistem...
  • 02-04-2022Komunitas Seni Belanak: Seni Ruang Publik sebagai...
  • 24-03-2022Menggantungkan Harapan di Mangkubumi

Kategori

  • Politik
  • Pendidikan
  • Agama
  • Umum
  • Home
  • Artikel
  • Cerpen

Kotak Kayu

24-11-2010, 05:40 WIB

Cerpen

2930 0
Oleh:

Rio Fitra SY

Semula ia mengira benda itu adalah sepotong kayu belaka. Sepotong kayu yang entah digunakan untuk apa. Barangkali hanya sebagai alas ketika memotong ikan dan daging hasil perburuan. Sebuah benda berbentuk persegi setebal paha yang pada salah satu sisinya dijepit oleh sebongkah benda kecil tapi keras, sekeras batu. Sehingga benda persegi itu tak bisa dibuka. Ia percaya kotak itu dapat dibuka sebab terbuat dari beberapa potong kayu yang dipertemukan bagian tepinya sehingga membentuk rongga di dalamnya.

Ia menemukannya secara tidak disengaja. Saat hari berburu yang dilakukan setiap sekali dalam tiga hari. Di tepi hutan, ia menghentak-hentakkan tombak batunya ke tanah untuk mengujicoba kekokohan tombaknya: yaitu sebongkah batu yang telah diasah menjadi runcing lantas diikatkan pada sebuah tongkat. Memang bukan hanya dia, bahkan semua pemburu selalu melakukan hal yang sama bila hendak berburu. Hal itu dilakukan adalah supaya tahu bahwa tombak mereka masih utuh. Mereka tak ingin mengetahui peralatan berburu mereka rusak ketika sedang berhadapan dengan binatang buruan.

Setelah beberapa kali hentakan ia menyadari bahwa tombaknya bertumpu pada sebuah benda keras. Lantas ia menunduk dan merabanya. Mengetuknya beberapa kali. Bukan batu. Ia tahu itu bukan batu. Gegas ia menyapu-nyapu tanah dan mengibaskan rerumputan kemudian menggalinya. Seperti orang kelaparan yang sedang menggali umbi-umbian bakal makanan.

Rombongan para pemburu sudah tak ada di sana. Mereka memasuki hutan secara bersamaan dan diam-diam. Ia tak sadar bahwa ia telah sendiri saja di perbatasan itu.

Kayu itu telah terlihat jelas, maka ia mengangkatnya. Ia mengguncang-guncang. Ada benda yang terombang-ambing di dalamnya. Yang membuatnya lebih tertarik sedemikiannya bukanlah lantaran kotak kayu itu, tetapi adalah sesuatu di dalamnya serta sebongkah benda yang lebih keras dari batu menjepit kayu itu. Sepanjang umur belum pernah ia melihat benda serupa itu.

Ia kembali ke lembah: perkampungan yang dikelilingi bukit-bukit berhutan. Sendiri. Sambil merangkul kayu itu. Ia menuruni bukit dengan setengah berlari sembari terus menghindari curam. Lalu jalan setapak menyambutnya, menuntunnya menuju perkampungan. Sekeliling kampung dipagari kayu-kayu yang sebagiannya ditancapkan ke tanah. Di dalamnya berdiri secara acak rumah-rumah menyerupai cendawan yang terbuat dari ijuk. Ia masih berlari, berteriak memberi tahu apa yang baru saja ditemukannya.

Orang-orang menoleh memandangnya. Mendekat. Berkerumun.

Mendengar suara ribut itu, keluarlah seorang wanita tua dari salah satu rumah ijuk. Tua sekali, umurnya sudah seratusan tahun. Tubuhnya ditutupi kulit binatang yang telah dikeringkan. Di leher, tangan dan kakinya terkalung berbagai macam jenis gigi binatang.

"Sang Segala Tahu!" Lantas semua orang menaruh kedua tangan mereka ke ubun-ubun sebagai tanda penghormatan.

"Buka!" Kata wanita tua yang dipanggil Sang Segala Tahu itu. Lelaki itu mengambil sebuah batu yang sama besarnya dengan kotak itu. Lalu menghempaskannya pada kotak, maka rengkahlah, dan terlihat sesuatu di dalamnya.

"Apa itu!"

Ia membukanya. Berlembar-lembar gambar manusia dengan pakaian yang aneh bagi mereka dan rumah serupa tebing-tebing batu atau batu-batu gunung. Tinggi dan besar. Semua yang ada dalam gambar itu tampak seperti disalin. Sangat nyata. Terlihat seperti sebenarnya. Tidak seperti gambar yang mereka ukir di dinding gua. Dan anehnya, apa-apa yang ada dalam gambar itu tak pernah sekalipun mereka lihat. Semua orang sungguh terkejut.

Perempuan tua itu menuju rumah ijuknya lalu kembali dengan beberapa helai kain yang telah lapuk dan sobek di sana-sini. Jauh lebih halus dan lembut ketimbang kulit hewan yang mereka kenakan. Perempuan itu telah menyimpannya selama bertahun-tahun. Ia mewarisi dari neneknya pula.

"Sudah waktunya! Sudah waktunya!" Dengan tubuh bergetar. Ia menutup matanya. Menangis dengan bibir tersenyum. Melekatkan lembaran-lembaran itu di dadanya.

***

Lama. Entah sudah berapa lamanya mereka (sepasang suami istri itu) menempat di lembah. Sepasang saja. Tak ada pasangan bahkan seorang pun selain mereka. Jauh dari manusia lain dan apa saja kecuali alam yang telah liar.

Hari pagi. Tak pernah ada pagi seberbeda ini. Entah pagi di tanggal dan bulan yang ke berapa. Semua seperti berjalan dengan lambat: angin, cicit burung, arakan awan, aliran sungai. Mereka tercenung bagai terpaku menatap perbukitan. Begitu kaku.

Perempuan itu lebih merapatkan tubuhnya yang berbalut blues putih yang di ujung lengannya seperti kembang mekar, sebab angin mulai berhembus. Sedangkan di pelukannya seorang bayi berbungkus selimut tebal. Ia mendekapnya dengan tenang.

Si lelaki memandang menembus bukit, "Takkan ada yang kembali," sambil memasukkan telapak tangan ke dalam saku celana blue jeans-nya.

Ia berbalik dan masuk ke dalam rumah dengan melangkahi tanah yang masih dingin. Lalu muncul lagi dengan sebuah kotak kayu. Lalu menatap istrinya dengan mata yang hendak meyakinkan sesuatu. Perlahan si istri menoleh.

"Bukankah sebaiknya anak cucu kita mesti tahu asal-usulnya? Tahu siapa moyang mereka. Dari tempat mana berasal."

"Tidak dengan keadaan seperti ini, istriku. Lebih baik mereka tidak tahu apapun tentang asal-usul. Biarlah yang mereka tahu adalah sebagaimana adanya mereka saat mengetahui diri mereka sendiri di sini. Ini tempat yang jauh lebih baik dari tempat manapun di dunia. Dari sinilah asal mereka. Di sinilah dunia mereka. Alam. Kita ingin mereka tidak mengenang dan mengetahui dunia di luar lembah ini. Dengar, bila saja anak cucu kita nanti tahu asal-usul mereka maka mereka akan mencarinya tempat itu, kota itu. Mereka kembali ke sana. Bayangkan. Bila anak cucu yang kita sayangi kembali ke sana."

Perempuan itu merapatkan bibirnya dilanjutkan dengan nafas yang menghela. Lantas membelaikan pandangan ke bayi yang berada dalam dekapannya. Ia mendekatkan wajah dan menyentuhkan pipinya ke pipi si bayi. Bayi perempuan yang lucu. Mata mereka sama-sama terpejam untuk sesaat, untuk sesuatu yang paling kelam dalam tatapan mereka.

Lelaki itu meraih sebuah kayu sebesar pergelangan tangan yang sudah diruncingi ujungnya. Kemudian berjalan menyusuri jalan setapak yang di kedua sisinya penuh semak. Menuju bukit: bukit yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Disusul sang istri yang tetap mendekap bayinya dalam pelukan. Mereka terus mendaki terjal bukit, namun tidaklah terlalu terjal karena sang suami telah membuat jalan setapak yang menghindari kecuraman nuju puncak bukit.

Sampailah mereka pada sebuah pokok pohon besar yang batangnya mengeluarkan serat berupa ijuk, di puncak terendah dari perbukitan yang mengelilingi lembah itu. Sang suami mulai menggali tanah dengan kayu runcing yang dipersiapkannya tadi. Ia berhenti menggali setelah merasa cukup dalam bagi sebuah kotak persegi yang tak besar itu.

Mereka berpandangan satu sama lain. Kotak kayu itu dibuka, lantas sang istri mengambil beberapa foto-foto dan sebuah buku harian. Ia pandangi saja dengan mata seperti dedaun di pagi hari. Setelah merasa puas, foto-foto dan buku harian itu pun dikembalikan ke dalam kotak. Sang suami meraih jemari istrinya, memberi kekuatan. Maka dikuncilah kotak itu dengan sebuah gembok sebelum ia benar-benar menguburnya.

***

Kini gagang tempat mengucapkan "halo" itu tertonggok di antara keping-keping beton yang pecah berserakan dengan debu yang membuat warnanya tampak kusam. Seorang lelaki duduk di sebelahnya. Ia pandangi saja gagang telpon berdebu itu. Ia berpikir seandainya ia masih dapat melakukan segalanya dengan telpon itu. Memanggil taksi misalnya. Sebab ia dan istrinya yang sedang hamil itu memang berniat berpergian. Mereka telah mengemas ransel yang diisi dengan barang-barang yang diperlukan saja, tapi bukan barang yang penting. Surat-surat dan berkas penting masih di dalam lemari. Bahkan uang tunai yang mereka miliki masih di dalam lemari. Tetapi istrinya, ketika membuka lemari, ia menyentuh lembaran uang itu.

"Untuk apa?"

Ia, perempuan itu, hanya mengerdipkan matanya dengan berat. Ia melanjutkan dengan mengambil sebuah kotak kayu. Lantas memasukkan beberapa lembar foto. Sebagian besar adalah potret mereka di depan rumah mereka sendiri dan lainnya saat di tempat-tempat berdarmawisata. Berikutnya yang turut serta ia masukkan adalah sebuah buku, sebuah buku catatan harian sebelum kotak itu ia tutup dan dikunci dengan sebuah gembok.

"Sudah waktunya!"

Maka mereka berusaha meloloskan diri dengan menyelinap di antara reruntuhan rumahnya. Balok-balok beton silang-menyilang tidak lagi di tempat seharusnya. Mereka meninggalkan rumah dengan pintu terbuka dan sebagian dinding yang menganga. Berjalan kaki saja di antara kendaraan-kendaraan yang terparkir namun tak satu pun yang bisa dihidupkan. Pertokoan dengan etalase yang bolong-bolong tampak berantakan. Aspal jalan mulai ditumbuhi rumput dan tumbuhan liar di celah-celah rengkahannya. Uang kertas dan koin berserakan di mana saja, tetapi tak seorang pun yang memungutnya meski beberapa orang penduduk masih tampak di luar. Lebih banyak yang memilih untuk tetap di dalam rumah untuk menghemat tenaga, seperti yang mereka alami juga, sebab tak ada lagi yang bisa dimakan. Toko makanan sudah tak ada berisi karena dalam keadaan serupa itu setiap orang akan merasa berhak untuk mengambilnya.

Mereka menelusuri kota itu dengan perut yang lapar sebelum sampai di sebuah dermaga. Ternyata seorang tua masih berada di sana dengan beberapa perahu miliknya.

"Kami beli salah satu perahumu, pak."

"Kalian punya makanan?"

"Tidak, tapi kami punya uang," kata si istri.

"Ha..ha..ha...apa yang bisa kudapat dengan uang? Minyak? Sepatu bot baru? Tidak. Kalian tentu juga tahu bahwa di manapun di muka bumi ini, uang tak berlaku apa-apa lagi sekarang. Kekuatan alam telah melumpuhkan kita bukan? Kita hanya butuh makan. Makan, bung! Tapi, kalau kalian ingin memakai perahuku, ambil saja. Percuma, aku tak butuh perahu lagi."

"Sunguh? Terimakasih, pak," mereka menyalami dan memeluk si tua.

Kemudian mereka menghisap udara dalam-dalam sebelum menaiki sebuah sampan dayung. Udara terakhir di tempat itu. Muncung sampan itu diarahkan ke laut lepas. Entah ke mana. Hingga akhirnya mereka terdampar di sebuah pulau kecil yang tak berpenghuni. Tapi di sana mereka tahu hendak menuju ke mana, yaitu sebuah lembah di kaki sebuah bukit. Sepasang saja. Sepasang saja.

Ruangsempit| Padang, 2008

Tags:

~

Rating

  • 2930views
  • 0comments

Subscribe

Subscribe to comments

recommend to friends

Iklan

Artikel Terkait

Mak Suni

Cerpen

Mak Suni

24-03-2015

1448
Kasam

Cerpen

Kasam

07-11-2014

1638
Portulaca

Cerpen

Portulaca

15-10-2014

1602
Bom Waktu

Cerpen

Bom Waktu

21-07-2014

1989

Komentar

Kirim Komentar

Kirim Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Nama*

E-mail*

Komentar

Kode

11 234 Subscribers
781 Followers
341 Subscribers

Berita Terpopuler

5 Mahasiswa UNP Lulus Seleksi IISMA 2022

5 Mahasiswa UNP Lulus Seleksi IISMA 2022

17-05-2022

  • 655
  • 22
Beritakan Predator Seks, LPM Institut Tuai Intimidasi

Beritakan Predator Seks, LPM Institut Tuai Intimidasi

07-05-2022

  • 503
  • 22
Hari Pertama Pelaksanaan UTBK di UNP

Hari Pertama Pelaksanaan UTBK di UNP

18-05-2022

  • 311
  • 22
Sukseskan UTBK SBMPTN 2022, Satpam UNP Beri Keamanan Bagi Peserta Ujian

Sukseskan UTBK SBMPTN 2022, Satpam UNP Beri Keamanan Bagi Peserta Ujian

18-05-2022

  • 235
  • 22
Tampil di Lubuklinggau, Dosen UNP Pemateri Lokakarya Komunikasi Pembelajaran

Tampil di Lubuklinggau, Dosen UNP Pemateri Lokakarya Komunikasi Pembelajaran

20-05-2022

  • 85
  • 22

Ganto TV

Lihat semua video

Aktivis Gerakan Suara Rakyat Sumatera Barat Tolak Penghapusan Limbah Batu Bara dari... Ganto TV

08-04-2021

  • 14
  • 1759

Galeri Foto

Lihat semua foto
Aksi Indonesia Darurat, Sumbar Menggugat 11 April 2022

Aksi Indonesia Darurat, Sumbar Menggugat 11 April 2022

12-04-2022

  • 0
  • 0
DimensiTekno old

Langganan Berita

Ganto.co
BACK TO TOP

SKK Ganto UNP

Ganto.co

"Sebuah Koran kampus sudah lama diimpi-impikan di IKIP Padang. Namun, karena keterbatasan, impian itu belum sempat diwujudkan. Sampailah beberapa waktu yang lalu, Rektor IKIP Padang 'menawarkan' suatu kemungkinan buat menerbitkan sebuah Koran kampus. Sudah tentu tawaran itu merupakan surprise. Dan Humas tak melewatkannya begitu saja. pembicaraan-pembicaraan diadakan. Rencana-rencana disusun. Sudah tentu, menerbitkan Koran tak semudah membacanya. Maka hari ini, dengan segala kekurangannya,...

Get it on Google Play

Profil

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Ketentuan Penggunaan
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Hubungi Kami

Menu

  • Home
  • Berita
  • Info Kampus
  • Sastra Budaya
  • Ganto TV
  • Ganto Foto
  • Artikel
  • E-Paper

Kontak

Hubungi kami di masing-masing divisi di bawah ini :

Alamat
Gedung Student Center Universitas Negeri Padang Lantai 2, Jln. Prof. Dr. Hamka, Air Tawar. Kode Pos 25131

Email: redaksiganto@gmail.com

Website : http://ganto.co

  • Bagian Umum

Nomor Hp 081271163620 (Afdal) / 083186637047 (Mona)

  • Bagian Redaksi

Nomor Hp 08973789080 (Nurul) / 083179338314 (Rino)

  • Bagian Usaha

Nomor Hp 082384139108 (Sandi)

  • Bagian Sirkulasi

Nomor Hp 085263690921 (Sherly)

  • Ketentuan Penggunaan
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Hubungi Kami
  • Facebook
  • Twitter
  • RSS

© 2017 Ganto.co - Ilmu Amaliah, Amal Ilmiah. All rights reserved.

Close

Enter the site

Login

Password

Remember me

Forgot password?

Login

SIGN IN AS A USER

Use your account on the social network Facebook, to create a profile on Ganto.co