Refleksi Demokrasi dalam Politik Dinasti
Sumber: Gopos.id
Sabarnuddin
Fenomena politik akan selalu terjadi pembaruan termasuk dalam hal kebijakan standar pemimpin atau pemangku kekuasaan.
Semua orang meyakini tidak ada yang salah dalam politik dinasti atau seorang anak melanjutkan kepemimpinan orang tua serta mewarisinya.
Dalam praktek yang diatur oleh UUD 1945 juga tidak melarang anak melanjutkan kepemimpinan orang tuanya.
Etika berpolitik yang baik akan terlihat bagaimana cara politisi mengakali hukum yang berlaku, walaupun secara spesifik tidak tertera larangan seorang anak dapat menjadi pewaris selanjutnya.
Namun, ada aturan lain yang berlaku, yakni di antaranya usia, pengalaman, kematangan, dan persyaratan lain. Dalam fenomena yang terjadi di pemilu 2024, ada banyak kejanggalan yang menghantarkan putra Presiden Jokowi menduduki posisi calon wakil presiden (cawapres) dan menang dalam pemilu.
Berbagai cara telah ditempuh untuk menggagalkan aksi presiden dalam meloloskan putranya menjadi cawapres, namun kandas dengan kekecewaan yang mendalam jutaan rakyat Indonesia.
Apa yang harus menjadi evaluasi bagi generasi muda khususnya dalam menghadapi kasus serupa jika terjadi dikemudian hari.
Esensinya penolakan secara sehat bahkan secara data dan fakta telah diungkapkan melalui publik berbagai kejanggalan dan kecurangan. Namun, dengan dana yang begitu besar digelontorkan rakyat dengan sukarela menerima kenyataan toh tidak merugikan mereka jika harus memilih putra presiden.
Dalam benak rakyat masih tersimpan keyakinan sosok yang baik akan mampu memimpin dengan baik pula, namun faktanya tidaklah demikian. Terdapat sekian catatan yang harus diselesaikan untuk mengatakan orang tersebut layak disebut pemimpin baik.
Pemilu 2024 yang menghadirkan tiga pasangan calon (paslon), yakni Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming, Ganjar Pranowo - Mahfud MD. Ketiga paslon telah memenuhi syarat setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah undang-undang yang membolehkan calon presiden (capres) atau cawapres pernah menjadi kepala daerah.
Satu pertanyaan sederhana yang harus dijawab secara akal sehat, mengapa perihal usia calon didahulukan dan waktunya bersamaan dengan pemilu? secara akal sehat terbukti ini hanya untuk memuluskan jalan putra presiden untuk maju dalam kontestasi pemilu.
Sejak awal, media mengabarkan bahwa tidak ada niat presiden untuk menjadikan putranya calon, namun tiba-tiba muncul gugatan di MK, dengan putusan akhir yang melibatkan paman dari putra presiden.
Dari skenario ini, sudah jelas bahwa ada permainan yang terstruktur dengan baik, dan banyak orang yang mengatakan bahwa ini sudah sesuai prosedur.
Jika keutuhan dan kedaulatan bangsa tidak dipertimbangkan, bisa saja terjadi kudeta politik oleh tokoh bangsa yang masih memiliki keyakinan untuk menyelamatkan negara dari kebobrokan yang disebabkan oleh satu orang yang telah merusak marwah demokrasi dan keluarga istana.
Ambisi Besar Memimpin Selamanya
Sebelum diisukan oleh publik bahwa putra presiden menjadi cawapres, terhembus isu presiden tiga periode dengan mempertimbangkan keadaan, keinginan rakyat, dan lain-lain.
Perubahan undang-undang yang hanya menguntungkan sekelompok orang tertentu perlu dipertanyakan dari segi logika hukum.
Jika perubahan tersebut dilakukan dengan alasan kondisi atau keadaan darurat, prosesnya tidak seharusnya semudah membalikkan telapak tangan.
Isu tersebut kemudian mereda. Setelah itu, bermunculan nama-nama calon presiden dan wakil presiden, yang menarik perhatian publik karena nama putra presiden turut muncul dalam berbagai hasil survei.
Hal ini memicu pro dan kontra, mengingat nama presiden tetap melekat padanya. Bukan sekadar persoalan administrasi, meskipun putra presiden memenuhi persyaratan yang diatur dalam undang-undang.
Pertanyaan lanjutan yang muncul adalah, mengapa ia memiliki ambisi begitu kuat meski pengalaman politiknya belum matang? Jika dianalogikan dengan seorang mandor proyek yang ingin menyerahkan proyeknya kepada anaknya, wajar jika para pekerja bertanya-tanya, apa sebenarnya yang mendasari keinginan kuat tersebut.
Apakah ada yang disembunyikan dan tidak mau terbongkar oleh orang banyak. Spekulasi akan terjadi dan ini yang dihadapi oleh rakyat Indonesia pada pemilu yang lalu. Negara ini akan tetap berjalan tanpa perlu ada hal yang ditutupi.
Klaim bahwa Presiden Jokowi telah berhasil membangun Indonesia membuka dua kemungkinan: pertama, ia siap menerima siapa pun sebagai presiden selanjutnya; atau kedua, seperti skenario saat ini, putranya harus tetap berada di istana untuk mengamankan berbagai agenda yang harus terus berjalan.
Berbagai kecurangan yang terjadi tidak berhasil mematahkan argumen pihak Paslon 02 dalam sidang MK. Permainan yang terstruktur dengan baik ini terlihat begitu sulit untuk dipecahkan, meskipun dihadapkan pada hukum.
Realita Pendidikan Politik yang Rendah
Genap 79 tahun Indonesia merdeka pada 17 Agustus 2024 mendatang, namun pendidikan politik yang lemah menghantarkan pemimpin yang terpilih juga mencerminkan kondisi rakyatnya.
Sampai saat ini gaya kampanye dengan berbagi uang, kumpul dengan goyang-goyang tak tentu arah serta melaksanakan kegiatan yang tidak ada kaitan dengan kemaslahatan politik lebih di senangi masyarakat.
Dengan berbagi sembako, membuat kontes joget atau goyang- goyang, membuat spanduk tak tanggung banyaknya membuat seolah politik hanya sebatas itu.
Jika diulas lebih mendalam, maka berkampanye jauh dari pada itu selain mencerdaskan pemilih juga memberikan stimulan bagaimana menentukan calon pemimpin yang baik untuk negara ke depannya.
Berbagai program sosial bukan buruk, namun kurang tepat jika disaat pemilu.Ajang kontestasi politik bukanlah tempat untuk menunjukkan siapa yang paling kaya atau paling terkenal, melainkan perlombaan ide, gagasan, dan solusi atas masalah yang sedang dihadapi.
Jika dipresentasikan, hanya sekitar 40% yang benar-benar merupakan pertarungan ide dan gagasan, sedangkan sisanya diisi oleh kegiatan yang tidak berkaitan dengan tujuan kampanye.
Hal ini membuktikan mengapa lahir pemimpin dengan kualitas seperti saat ini, karena gaya kampanye politik cenderung menyesuaikan dengan permintaan pemilih.
Saatnya rakyat Indonesia merubah cara pandang akan pentingnya literasi politik dan berbagai kerugian yang akan didapat jika tetap berpandangan demikian.
Indonesia dengan kekayaan alam berlimpah hanya akan menjadi bual-bualan negara maju karena tidak ada keinginan kuat untuk merubah cara pandang yang kolot dan menjerumuskan tersebut.
Fenomena ini akan terus berlanjut dengan skenario yang lebih buruk, kecuali jika ada upaya yang signifikan untuk mencegahnya melalui pendidikan politik.
Tidak sulit untuk mengedukasi rakyat di era digital seperti sekarang, namun cara pandang sebagian politisi yang tidak menginginkan rakyat cerdas dalam berpolitik lah yang menyebabkan stagnasi negara ini, baik saat ini maupun di masa mendatang.
Efek Lingkaran Setan
Sulitnya membuat perubahan di tengah masyarakat yang sudah tergoda oleh uang. Dengan dalih menggelontorkan bantuan sosial untuk masyarakat menengah ke bawah, pada kenyataannya, bantuan tersebut justru diberikan menjelang pemilu, disertai berbagai ancaman terkait hasil pemilu tersebut.
Sungguh suatu pembodohan jika kita mengatakan hal ini adalah sesuatu yang normal. Terdapat banyak calon yang sangat mumpuni dan matang secara politik, bahkan telah mengantongi survei tinggi.
Namun, karena adanya permainan kotor yang mengamankan kepentingan pihak tertentu, seolah demokrasi yang telah dibangun sejak era reformasi kembali mundur ke masa otoriteran Orde Baru, yang tidak bisa dilawan oleh siapapun.
Untuk memutus lingkaran setan yang tak berujung, kita perlu memotong mata rantai secara sehat, yakni melalui pendidikan politik yang dapat mengubah cara pandang.
Degradasi moral, yang dimulai dari generasi muda hingga politisi yang dihasilkan oleh pemilu, akan terus mengulang kesalahan yang sama jika tidak dicegah sejak sekarang, demi kemaslahatan dan kejayaan bangsa di masa depan.
Komentar
Kirim Komentar