Mujid Sang Penggali Kubur
Ilustrator: Natasa Alifah
Aisya Nabilla Putri
Orang-orang memanggilnya Mujid. Tak ada yang tahu nama aslinya. Laki-laki kurus hitam legam itu setiap harinya berjalan terseok-seok mendorong gerobak kayu, menyusuri jalan demi jalan, gang demi gang untuk menemukan sesuatu yang bisa di kubur.
Kakinya pincang sebelah lantaran pernah digilas roda mobil milik tentara Jepang yang saat itu lewat dan menabrak semua yang menghalanginya.
Kala itu, dia menyeret-nyeret kakinya yang berdarah menuju rumah, mengabaikan darah yang berceceran. Tak ada yang seorang pun yang membantu.
Hanya dirinya saja yang bisa diandalkannya untuk sampai ke gubuk tuanya.
Mujid, laki-laki tua bak pohon tersambar petir yang terlambat menikah itu adalah seorang penggali kubur. Karena profesinya itulah, dia membangun rumah petak kecil dekat perkarangan kuburan umum, agak ke sudut.
Di depan rumahnya, berdiri sebatang pohon beringin tua dan besar. Orang-orang enggan mengunjungi rumahnya karena takut kena kutukan dan kemasukan roh jahat.
Mereka bilang, pohon beringin itu adalah rumah bagi jasad yang rohnya tidak diterima di langit. Roh-roh itu menjadi hantu penunggu.
Sebagai seorang penggali kubur, tentunya kehidupan Mujid jauh dari kata mewah.
Dia hidup dari belas kasih orang-orang. Kadang, dia menerima beras dan kebutuhan lain dari warga sebagai rasa terima kasih mereka karena telah membereskan dan membersihkan lingkungan tempat tinggal mereka dari tubuh-tubuh tak bernyawa itu.
Tentunya pemberian itu tidak diantarkannya ke rumah Mujid, mereka memberikannya ketika Mujid lewat dan sedang berlalu lalang mengangkut mayat.
Jasad pertama yang dikuburkannya adalah tubuh laki-laki tua yang wajahnya nyaris sudah tidak dikenali lagi. Wajahnya hancur sebagian.
Jika bukan karena celana lusuh itu, Mujid tidak akan pernah tahu bahwa tubuh kaku dan dingin itu adalah ayahnya.
Mujid tidak ingin tahu apa yang menyebabkan ayahnya mati secara mengenaskan.
Setelah menimbun tubuh ayahnya dengan tanah, Mujid duduk di tepi makam ayahnya sampai malam menyapa.
Dia hanya diam, tidak berbicara dan tidak pula menangis. Dia hanya ingin berada di sisi ayahnya.
Tanpa sadar, dia tertidur dan dibangunkan oleh tepukan lembut di bahu.
Mujid menatap seorang wanita paruh baya di depannya yang menggendong seseorang di belakang punggungnya. Mata wanita itu merah dan berair.
"Bisakah kau menguburkan anakku? Aku memang tidak punya apa-apa, tapi aku akan sangat berterima kasih jika kau melakukannya."
Tanpa menjawab ucapannya, Mujid berdiri dan mengambil cangkul untuk menggali lubang. Setelah lubang terbentuk, Mujid menyuruh perempuan itu untuk memberikan jasad anaknya.
Sebelum menyerahkannya pada Mujid, perempuan itu menghujani wajah anaknya dengan ciuman di pipi, dahi, hidung dan mata. Netra perempuan itu kembali meneteskan air mata. Mujid meletakkan jasad tersebut dengan hati-hati.
Dia hanyalah seorang gadis kecil dan entah takdir macam apa yang didapatkannya gadis tersebut sehingga kematian menjemputnya lebih awal.
"Terima kasih. Sekarang dia bisa beristirahat dengan tenang."
Mujid membalas ucapan wanita itu dengan anggukan. Setelah wanita itu pergi, Mujid kembali ke dekat ayahnya. Duduk sampai matahari memuntahkan cahaya jingga.
Pada hari-hari selanjutnya, Mujid rutin mengangkut dan menguburkan mayat yang berserakan di jalan. Tiga sampai empat mayat selalu dikuburkannya setiap harinya.
Laki-laki dan wanita dewasa, orang-orang tua, bahkan anak-anak selalu Mujid pikul di dalam gerobaknya kayunya. Mujid tidak ingin memikirkan alasan kenapa selalu ada orang yang mati setiap harinya.
Baginya, pekerjaan sebagai seorang penggali kubur adalah pekerjaan yang mulia. Seorang penggali kubur adalah orang terakhir yang memberikan penghormatan kepada jenazah ketika tidak ada satupun yang melakukannya.
***
Semua orang tidak menyangka bahwa laki-laki muram dan penyendiri seperti Mujid akan menikah.
Tidak, lebih tepatnya orang-orang tidak percaya bahwa akan ada perempuan yang mau menjadi istri Mujid.
Selain hidupnya yang susah dan menyedihkan, semua orang dan bahkan anak kecil pun tahu bagaimana rupa laki-laki pincang itu.
Wajah kelam terbakar matahari, hidung besar, dan bibir lebar, serta mata bulat besar yang selalu terlihat seperti orang mengantuk.
Orang-orang menyebut istri Mujid sebagai perempuan sial yang jatuh ke tangan makhluk buruk rupa. Rumi, istri Mujid, perempuan manis berlesung pipi itu menutup telinga rapat-rapat dan mengabaikan cercaan dan hinaan orang-orang pada suaminya.
Sementara itu, Mujid sendiri tidak mengetahui bahwa kehidupan rumah tangganya menjadi obrolan dan bahan gosip semua orang setiap harinya.
Setahun menikah, mereka dikarunia anak perempuan, cantik seperti ibunya. Tidak ada sedikitpun tanda-tanda kemiripan antara anak dan ayahnya. Mujid dan istrinya diberkahi kebahagiaan.
Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar.
Lima tahun kehadiran buah hatinya, istrinya mati tanpa sebab. Tidak ada tanda-tanda dia menderita penyakit serius. Rumi meninggal saat sore hari ketika mereka duduk di bangku panjang di bawah pohon beringin.
Peristiwa itu menggiring opini orang-orang bahwa Rumi mati karena terkena kutukan roh jahat pohon beringin, ada yang mengatakan bahwa perempuan itu tidak bahagia dan tertekan karena menjadi istri Mujid dan bosan hidup miskin, ada juga yang mengatakan bahwa Rumi dijemput oleh ayah Mujid, dan bahkan ada yang mengatakan jika Rumi diambil istri oleh hantu tampan yang mendiami pohon beringin tersebut.
Tidak ada satupun yang benar dan masuk akal. Mujid percaya istrinya mati karena memang sudah waktunya.
Mujid membuatkan makam istrinya tepat di samping pusara ayahnya.
Dia menyirami dan menaburkan berbagai macam bunga, serta meletakkan sebuah kayu yang menjadi nisan dengan ukiran nama istrinya yang diukirnya sendiri menggunakan paku.
Setiap hari, Mujid tidak pernah absen untuk mengunjungi dan merawat makam wanita yang menjadi belahan hatinya.
Istrinya meninggalkan sesuatu yang mampu menjadi penawar kesepian dan kehilangan. Anak perempuan dalam gendongannya benar-benar mirip seperti ibunya.
Dia memberinya nama Ainun.
Dua lubang kecil di kedua pipinya timbul tenggelam setiap kali anak itu tertawa. Mata bulatnya selalu berbinar-binar setiap menatap ayahnya.
Seakan mengerti apa yang dirasakan ayahnya, Ainun menepuk-nepuk pelan pipi legam di hadapannya.
Ainun tumbuh menjadi gadis kecil mempesona, yang semakin menegaskan kecantikannya. Segala sesuatu pada gadis kecil itu dirawat dan dijaga dengan baik oleh Mujid.
Mujid melihat Rumi kecil di dalam diri Ainun.
Namun, agaknya Tuhan lupa memberikan pita suara pada gadis kecil itu. Ainun, gadis jelita itu hanya bisa mengucapkan kata 'ayah'. Pertama kali Mujid menyadari bahwa buah hatinya tidak berbicara dan bahkan kesulitan mengeluarkan suara,
Mujid menangis meraung-raung hingga suaranya habis pada suatu malam. Mujid menghujani pipi dan dahi anaknya dengan ciuman.
Menyampaikan cintanya, meskipun anaknya tidak sempurna.
Sepeninggal istrinya, Mujid tetap melakukan aktivitas seperti biasanya.
Dengan berat hati, dia harus meninggalkan Ainun seorang diri di gubuknya yang tua. Setiap kali melangkah dan meninggalkan kediamannya, Mujid merasa cemas dan gelisah meninggalkan Ainun seorang diri.
Dia tidak ingin mengajak Ainun pergi bersamanya. Gadis itu tidak boleh melihat sesuatu yang buruk.
Setiap kali ayahnya melangkah ke luar dan mendorong gerobaknya, Ainun akan mengikutinya dari belakang dan mengantarkannya sampai ke luar perkarangan pemakaman.
Kemudian dia akan melambaikan tangan dan menampilkan senyum lebar.
Setelah menyaksikan punggung ayahnya yang menjauh, Ainun kembali ke rumahnya.
Kemudian ia akan memainkan boneka kayu yang dibuatkan oleh ayahnya.
Begitu pula Mujid, dia akan ikut melambaikan tangan dan tersenyum membalas senyum anaknya. Melangkah pergi dan bersusah payah mendorong gerobak dengan kaki pincangnya.
Meskipun dipenuhi rasa cemas, resah, gelisah dan takut, Mujid hanya bisa berdo'a dan berharap Ainun akan baik-baik saja.
Dia memutuskan untuk selalu pulang lebih awal dari yang biasanya. Ketika matahari semakin tinggi dan cuacanya panas semakin mengenaskan, Mujid akan bergegas untuk pulang ke rumah.
Sebelum bertemu Ainun, Mujid akan membersihkan diri dan menghilangkan bau besi berkarat dari tubuhnya. Ketika dia akan tersenyum begitu mendapati Ainun berlari menghampirinya. Mujid akan membawa gadis kecil itu ke dalam dekapannya.
Mujid ingin mencari pekerjaan lain, setidaknya demi Ainun. Namun, hidup berkata lain, orang-orang tidak membutuhkan pekerja cacat.
***
Hari yang biasa. Pagi yang biasa.
Sebelum berangkat, Mujid menyiapkan segala kebutuhan Ainun dan mencium kedua pipi dan keningnya.
Seperti hari-hari sebelumnya, Ainun akan mengantarkannya dan melambaikan tangan. Dan seperti yang sudah-sudah, Mujid akan kembali setiap cuaca panas mulai mencekik.
Mujid kembali ke rumah. Membersihkan diri dan siap menemui Ainun.
Namun, Mujid merasa aneh karena tidak mendapati gadis kecil yang berlari dan menghabur ke dalam pelukannya.
Mujid memanggil-manggil Ainun dan mencarinya ke sekeliling rumah. Perasaan takut mulai menguasainya. Mujid berlari ke luar rumah dan mencari ke sekitar perkarangan makam, jaga-jaga jika ia berada di pusara ibunya.
Namun, Ainun tidak ada di manapun.
Mujid berlari ke luar perkarangan makam. Mencari Ainun di setiap sudut jalan, gang, dan tempat-tempat lainnya. Bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya. Mujid mencari seperti orang kesetanan.
Tidak jarang dia terbata-bata dan bahkan berteriak.
Terlalu kencang dan memaksakan diri berlari, Mujid terjatuh.
Untuk pertama kalinya dia mengutuki kondisi tubuhnya. Untuk pertama kalinya dia membenci kakinya yang cacat.
Mujid terengah-engah. Memanggil-manggil Ainun dengan suara lantang.
Di tengah pencariannya, di sudut jalan, dari dalam gang lebih tepatnya, keluar tiga orang laki-laki dewasa.
Satu di antaranya memasang wajah takut dan cemas, duanya lagi tertawa seakan tidak terjadi apa-apa.
Melihat tiga orang itu, Mujid dikuasai pikiran-pikiran buruk.
Entah kenapa jantungnya berdetak lebih cepat.
Tanpa sadar, ia melangkah dan menyeret-nyeret kakinya yang pincang ke tempat ketiga laki-laki tadi keluar.
Melihat apa yang ada di hadapannya, Mujid merasa tubuhnya tidak berpijak ke tanah.
Dia menyeret-nyeret kakinya, mendekati sosok di depannya.
Lihatlah, bahkan dunia bisa menjadi lebih kejam kepada seorang gadis kecil yang tak berdosa.
Mujid mengangkat tubuh Ainun yang masih hangat. Matanya tertutup rapat. Mujid dapat melihat dengan jelas jejak-jejak air mata pada kedua pipinya.
Dan, dari semua itu, yang paling membuatnya hancur adalah, bekas luka yang memenuhi bagian kemaluan dan anus gadis itu.
Kemaluannya mengeluarkan begitu banyak darah, hingga meninggalkan jejak pada tempatnya berpijak. Mujid membuka bajunya dan menutupi tubuh Ainun yang mulai mendingin.
Di tengah gelapnya gang itu, dia menangisi kepergian seorang gadis kecil yang menjadi keajaiban dalam hidupnya.
Seorang anak yang menjadi obat dalam kekosongan hidupnya. Seorang anak yang menjadi pengobat rindunya pada istrinya.
Mujid menangis meraung-raung sampai suaranya serak.
Tak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang ayah selain melihat anak gadisnya terluka.
Mujid merasa hancur dalam setiap detik yang dilaluinya.
Mujid menggendong tubuh Ainun.
Di setiap jalan yang dilaluinya, orang-orang memperhatikannya tanpa berani bertanya apapun.
Tanpa diberitahu, semua orang paham dengan apa yang mereka lihat.
Dalam sekejap, perasaan bersalah dan menyesal memenuhi hati setiap orang.
Tanpa Mujid sadari, seorang anak laki-laki mengikutinya dari belakang.
***
Mujid memandikan dan membersihkan tubuh Ainun dengan hati-hati. Sedikitpun dia tidak ingin sentuhannya menyakiti gadis kecil itu.
Meskipun dia tahu bahwa Ainun tidak lagi merasakan sakit. Di tengah-tengah kegiatannya,
Mujid membayangkan apa yang dialami Ainun. Gadis itu pasti meraung-raung dengan suaranya yang menyedihkan. Dan tidak ada seorang pun yang mendengar teriakan minta tolong itu.
Mujid tidak bisa berhenti menangis.
Mujid menyiapkan makam Ainun di sebelah makam istrinya.
Saat menggali, dia menyadari ada seorang bocah laki-laki yang memperhatikannya.
Merasa diperhatikan kembali, bocah laki-laki itu menghampiri Mujid, dan berkata dengan pelan.
"Maafkan aku. Aku melihat semuanya."
Mujid mendengarnya.
Seharusnya dia marah pada anak laki-laki didepannya, memukul atau menamparkanya.
Tetapi, Mujid tidak mampu.
Baginya, apa yang terjadi pada Ainun adalah kesalahannya.
Seandainya dia tidak pincang.
Seandainya dia tidak meninggalkan Ainun seorang diri.
Semua perasaan bersalah dan menyesal mengambil alih dirinya.
Mujid tidak membalas ucapan anak laki-laki itu, dia berkata, "Maukah kau membantuku?"
Anak laki-laki itu mengangguk-ngganguk cepat, "Apapun akan kulakukan jika ini bisa menebus kesalahanku."
Mujid tidak menjawab. Dia meneruskan menggali lubang tiga kali lebih besar dari tubuh Ainun.
Kira-kira lubang itu sepanjang ukuran tubuh laki-laki dewasa, dan sedikit lebih lebar dari yang biasanya. Lubang itu rampung.
Mujid menyerahkan sekop kepada anak laki-laki itu, yang diterimanya dengan bingung.
Mujid menjemput Ainun dari dalam rumah. Membawa jasad gadis kecil itu ke dalam gendongannya.
Mujid membuka sedikit kain yang menutupi wajah anaknya, menghujani pipi dan dahi Ainun dengan ciuman.
Mujid menatap anak laki-laki itu, "Tolong makamkan aku bersama anakku.
Dengan begitu, aku akan selalu bersamanya. Aku tidak ingin lagi meninggalkannya seorang diri."
Tanpa menunggu jawaban, Mujid turun dan dan masuk ke dalam lubang. Dia merebahkan badannya dan meletakkan Ainun di sampingnya. Posisinya seperti dia tengah memeluk Ainun sambil tiduran.
Anak laki-laki itu tidak mengerti. Dia hanya menatap Mujid dari atas dengan bingung.
Dia memperhatikan Mujid yang memeluk jasad anaknya dengan erat, seakan-akan tak akan pernah melepaskannya.
"Makamkan aku. Tutupi aku dengan tanah itu. Kau adalah satu-satunya orang yang memberi penghormatan terakhir kepadaku dan kepada anakku."
Anak laki-laki itu dilanda perasaan bingung dan bimbang.
Namun, melihat keseriusan di wajah Mujid, anak laki-laki itu memantapkan hatinya.
Dia menimbuni mereka dengan tanah. Mujid mengeratkan pelukannya.
Tepat sebelum tanah terakhir membenamkan tubuhnya, dia meninggalkan kutukan pada dunia.
Dia mengutuk orang-orang di dunia akan merasakan hidup layaknya di neraka.
Komentar
Kirim Komentar