Belajar Perbedaan dan Toleransi Beragama di Vihara Buddha Warman
Sesi foto bersama saat kunjungan ke Vihara Buddha Warman, Selasa (4/6/2024).
Riry Mahesa Putri
Pagi itu langit Kota Padang tak begitu semangat, saya dan beberapa teman saya berkunjung ke salah satu rumah ibadah yang berada di Kota Padang, tepatnya Vihara Buddha Warman.
Vihara Buddha Warman adalah sebuah tempat ibadah dan pusat kegiatan agama Buddha yang terletak di Jalan Muara No.34, Berok Nipah, Padang Barat, Kota Padang.
Langkah kami dimulai dengan rasa penasaran dan semangat yang tinggi untuk mempelajari arti sebuah perbedaan.
Angin pantai dan deburan ombak menjadi tanda bahwa perjalanan kami semakin dekat. Tak berselang 10 menit, kami sampai di sebuah gedung dengan Patung Buddha yang terpampang nyata di depannya.
Setelah memarkirkan kendaraan kami disambut oleh pria berambut putih, sepertinya pria itu adalah salah seorang pengurus Vihara Buddha Warman.
Tak selang beberapa lama seorang wanita dengan kemeja putih juga menghampiri dan menggiring kami untuk segera masuk ke dalam aula vihara.
Di dalam aula kami berdiskusi dengan salah satu pemuka agama Buddha, Romo Sudarma.
Dalam diskusi, Romo menjelaskan ada tiga tingkatan tempat ibadah di dalam agama Buddha.
Yang pertama Cetiya. Cetiya merupakan salah satu tempat ibadah agama Buddha yang lebih kecil dan biasanya milik pribadi.
Yang kedua Vihara, yaitu tempat ibadah agama Buddha yang lebih besar dari Cetiya, biasanya dikelola oleh sebuah yayasan, terdapat perpustakaan di dalamnya dan ada tempat biksu untuk berdiam diri.
Yang ketiga Maha Vihara, Maha Vihara biasanya lebih besar dari Vihara dan terdapat tempat untuk mentasbihkan pemeluk agama Budha menjadi biku atau yang biasa disebut ruangan sima.
Ketika berbicara agama Buddha kita pasti langsung terpikir seseorang dengan kepala botak, memakai jubah kuning dan memegang sebuah benda seperti tasbih.
Nah ternyata dalam agama Buddha jubah itu disebut dengan civara.
Civara tidak selalu berwarna kuning, tergantung kulit kayu yang digunakan untuk membuatnya.
Ada beberapa makna yang terdapat dalam civara, salah satunya melambangkan kesederhanaan.
Kemudian tasbih yang digunakan biksu disebut dengan O-Juzu. Dalam agama Buddha, O-Juzu berjumlah 108 dengan pembagian 27, 27, 27, 27.
Selanjutnya, Romo menjelaskan bahwa dalam agama Buddha juga sama seperti agama lain yang memiliki aturan-aturan moral.
Berikut lima aturan moral dalam agama Buddha; menghindari pembunuhan dan penganiayaan, menghindari pencurian, menghindari tindak asusila, menghindari ucapan yang salah/keliru, dan menghindari hal-hal yang memabukkan.
Setelah berdiskusi, kami diarahkan menuju lantai dua Vihara.
Berbeda dengan lantai satu, di lantai dua terdapat tempat untuk beribadah, patung Buddha terpampang nyata di depan mata.
Umat Buddha biasanya melakukan peribadatan di ruangan ini termasuk beberapa rangkaian acara Waisak.
Waisak adalah hari suci dalam agama Buddha. Waisak biasanya dilaksanakan pada tanggal 8 tahun imlek saat purnama (Purnama Sidhi) atau bulan gelap.
Waisak dilaksanakan untuk memperingati beberapa hal penting, yaitu kelahiran Siddharta Gautama atau kelahiran sang Buddha, Siddharta Gautama meninggalkan istana, Siddharta Gautama mendapatkan pencerahan dan wafatnya Siddharta Gautama.
Perayaan hari besar ini dilakukan dengan berbagai kegiatan unik.
Setelah melihat tempat peribadatannya, ternyata agama Buddha identik dengan beberapa warna, di antaranya biru yang bermakna bakti, kuning bermakna kebijakan, merah berarti cinta kasih, putih kesucian dan jingga bermakna semangat.
Meski berbeda dalam hal kepercayaan mereka sangat menjunjung persaudaraan antar umat beragama.
Selama di Vihara Buddha Warman, kami diperlakukan dengan baik tidak terkecuali Romo.
Romo adalah salah satu panggilan untuk pemuka agama Buddha.
Dalam agama Buddha juga terdapat sebuah istilah Tri sarana (tiga Perlindungan).
Tri sarana adalah cara untuk menjadi seorang Buddhis/ Umat Buddha.
Mereka akan menyatakan ketaatan dan kesetiaannya kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha menggunakan kata-kata yang sederhana dan menyentuh hati yang diucapkan tiga kali.
Di dalam Agama Buddha seseorang dianggap sah beragama Buddha ketika dia sudah bisa menentukan pilihan sendiri bukan semenjak dia lahir.
Anak yang dilahirkan dalam keluarga atau komunitas Buddhis tidak serta merta dianggap sebagai penganut agama Buddha.
Menurut agama Buddha, individu tidak dilahirkan dalam agama tertentu, melainkan di dunia mana mereka diberi kesempatan untuk membuat pilihan sendiri dan belajar tentang berbagai sistem kepercayaan.
Suara azan berkumandang pertanda bahwa sudah saatnya kami untuk pulang.
Sebuah pengalaman yang begitu berharga, kunjungan kali ini memberikan makna yang begitu indah akan sebuah tolerasi
Di ruangan ini berkenalan dengan mereka yang memiliki kepercayaan berbeda membuat penulis belajar banyak hal.
Semua agama mengajarkan untuk berbuat kebaikan, tidak ada agama yang mengajarkan keburukan.
Bertemu dengan kaum minoritas di kota ini menyadarkan penulis betapa pentingnya menciptakan rasa aman untuk setiap pemeluk agama.
"Kesabaran adalah cara menghadapi kehidupan yang paling aman."
Komentar
Kirim Komentar