Mengapa Sarjana Pendidikan Harus "Dipaksa" Mengikuti PPG?
Sumber foto : RISE
Jefri Yunedi
Dunia pendidikan di negeri ini memang telah waktunya untuk ditingkatkan dalam hal kompetensi dan turut serta juga seperangkat ragam jenis lainnya yang menjadi tolak ukur sebuah kesuksesan penyelenggaraan proses belajar mengajar.
Sudah menjadi sesuatu yang wajar bahwa suatu hal mesti ditingkatkan, tidak ubahnya dengan pendidikan itu sendiri. Pemerintah sebagai pionir yang disepakati oleh rakyat sebagai "orang pintar" sekaligus pemangku kebijakan untuk semua aspek penyusun suatu negara, salah satunya pendidikan.
Dalam bernegara pemerintah punya kuasa penuh untuk mengotak-atik sistematika dan alur yang dianggap legal dalam melakukan kegiatan bernegara, pendidikan salah satunya. Kenapa pendidikan? Jawabannya terdapat dalam tulisan ini akan membahas tentang sistem pendidikan yang sekarang sedang diterapkan.
Sistem pendidikan yang problematik tentu sangat membingungkan kita untuk memahami apa yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh pemerintah.
Problematika ini mungkin tidak dirasakan oleh semua individu, tapi jika pertanyaan itu dilempar untuk penulis maka dengan lantang penulis akan menjawab, "Iya, saya sangat merasakan masalahnya."
Sebagai mahasiswa kependidikan yang berada di semester akhir, hal yang menjadi dilema saat ini tentunya menjadi berlipat ganda. Hal yang dipikirkan tentu bukan hanya bagaimana agar bisa secepatnya mendapatkan ijazah, tetapi mau dibawa kemana ijazah itu nanti.
Dengan kondisi yang sama dan terjadi tahun 2019 silam, maka mayoritas mahasiswa akan menjawab melamar menjadi guru honorer dahulu ke sekolah.
Niat baik seorang calon mahasiswa dalam memilih jurusan kependidikan tentunya agar lulus nanti mendapatkan kompetensi dan memenuhi syarat untuk menjadi guru, yang notabene cukup mudah untuk diakses untuk dunia kerja nanti, tinggal masukan lamaran ke sekolah terdekat jika lulus nanti, pikirnya.
Soal waktu dan kejadian memang tidak dapat kita prediksi dengan akurat. Perubahan yang masif ternyata terjadi di masa pasca Covid-19, semua hal yang berkaitan dengan hidup dan interaksi sosial secara mekanisme dan sistemnya diperbaharui.
Namun, entah ini berhubungan atau tidak dengan Covid-19, pasca covid ada sebuah program yang secara tidak langsung mengharuskan mahasiswa kependidikan agar "kuliah lagi" untuk diakui sebagai calon guru.
Mungkin ini adalah sebuah rencana terstruktur yang memang akan dilaksanakan pada saat itu yang kebetulan bertepatan dengan sebuah pandemi, sebut saja demikian.
Pendidikan Profesi Guru atau akrab dikenal PPG merupakan jenjang pendidikan tinggi setelah program pendidikan sarjana. Jadi, setiap calon guru perlu mengikuti pendidikan ini setelah lulus sebagai sarjana.
Program ini berbeda dengan program sertifikasi guru, khususnya jika dilihat dari waktu pelaksanaan dan syarat untuk mengikuti program. Program sertifikasi dilakukan untuk guru yang sudah memiliki pengalaman lebih dari lima tahun.
Sementara itu, PPG diikuti setelah calon peserta lulus menjadi sarjana. Mungkin ini adalah sebuah rencana terstruktur yang memang akan dilaksanakan pada saat itu, tetapi secara tidak sengaja bertepatan dengan sebuah pandemi, sebut saja demikian.
PPG dan 4 Tahun yang Menjengkelkan.
Tentang program ini tentunya bermaksud baik dan benar untuk meningkatkan kompetensi para calon-calon guru. Namun, masalahnya apakah sebaiknya program ini dikhususkan untuk mahasiswa kependidikan saja?
Tentang syarat masuk yang disoroti penulis adalah dengan bebasnya mahasiswa non kependidikan ikut campur dalam program profesi guru.
Dalam proses perkuliahan mahasiswa kependidikan tentunya mempunyai banyak ruang dan waktu untuk mendalami mata kuliah yang sifatnya "sangat kependidikan sekali". Nasib buruk jika mahasiswa kependidikan tahun masuk 2020-an, program ini belum diketahui secara masif dan rinci.
Sebuah analogi yang bisa dipakai, "Bahwa jika kamu mahasiswa non kependidikan, kamu amfibi. Jika kamu mahasiswa kependidikan, kamu berenang saja."
Jika melihat dari permasalahan kompetensi guru, memang dewasa ini cukup menjadi sorotan khalayak. Kebanyakan guru aktif yang ternyata tidak menguasai kompetensi layak sebagai tenaga pengajar memang sudah saatnya dibenahi.
Pemerintah sudah baik dalam mempersiapkan program profesi ini sebagai wadah peningkatan kompetensi tenaga pendidik, tetapi sebaiknya program ini ditujukan untuk guru yang sudah aktif mengajar saja.
Untuk guru yang sudah aktif mengajar, pemberian pelatihan profesi ini dimaksudkan untuk menyelaraskan serta menyeimbangkan kompetensi guru dengan kebutuhan pencapaian pendidikan, terlebih untuk menyikapi perubahan kurikulum yang sering kali membingungkan guru-guru senior.
Pemerintah semestinya berusaha semaksimal mungkin mencetak para calon guru saat mahasiswa tersebut sedang menempuh pendidikannya. Waktu yang tersedia sekitar delapan semester dan seharusnya mahasiswa kependidikan sudah siap menjadi guru disaat menyelesaikan kuliahnya.
Penambahan program ini tidak selamanya dapat meningkatkan kemampuan guru. Dalam satu tahun, mahasiswa yang notabenenya bukan dari disiplin ilmu kependidikan dapat dengan leluasa bergabung dan lebih layak jadi guru dibanding dengan mahasiswa kependidikan yang belum mengambil PPG, padahal berkuliah empat tahun di dalam disiplin ilmu kependidikan.
Logika sederhananya, jika mahasiswa kependidikan "digembleng" selama empat tahun, bukankah hasilnya akan lebih maksimal dibandingkan dengan satu tahun?
Dengan kesimpulan penulis menyatakan bahwa untuk menjadi guru bukanlah mengambil jurusan kependidikan, tetapi ikut PPG.
Komentar
Kirim Komentar