Gadih Minang Nan Sabananyo
Sumber Ilustrasi: id.pinterest.com
Tyara Susanti
Gadih Minang atau gadis Minang adalah anak gadis yang berasal dari Minangkabau yang memiliki tutur kata, dan perilaku yang sopan santun. Tapi, semenjak kemajuan zaman banyak yang merubah anak gadis Minang dari yang tau sopan santun sampai tak tau sopan santun.
Tia, seorang gadis dari tanah Agam yang memiliki paras mempesona, lemah lembut, serta tak jarang orang lain yang melihatnya seperti bidadari yang turun dari surga.
Tia baru berumur 18 tahun, 21 Maret kemarin baru siap merayakan ulang tahunnya. Ia merupakan anak yang patuh kepada orang tuanya, tidak pernah melawan atau membentak orang tuanya saat keinginannya tidak dipenuhi.
Sinar matahari telah menyelinap masuk melalui celah-celah tirai jendela, sehingga sinarnya mengenai matanya yang membuatnya terbangun dari tidur. Tia terkejut melihat kearah jam karena jam sudah menunjukkan jam 08.15. Tia segera bergegas bangkit dari tempat tidur, membereskan kamar hingga mencuci muka.
Tia berjalan kearah luar dan langsung duduk didepan pintu, tapi ayah mengagetkannya dan langsung berkata,
"Kesini duduk disamping Ayah," sambil memegang segelas kopi hangat.
"Iya yah," ujarnya.
Ayah langsung melemparkan senyumnya saat Tia akan duduk disamping ayah.
"Baru kali ini ayah melihatmu bangun kesiangan, apa kamu tidur malam?" tanya Ayah.
"Tidak yah, tapi aku sering terbangun malam tadi, tidak tahu kenapa? Jadinya susah tidur," jawab Tia.
Ayah lalu menyeruput kopi hitam yang ada ditangannya. Lalu bertanya lagi.
"Nak, kamu tau gadih Minang nan sabananyo?" tanya Ayah.
"Mungkin tau yah, kenapa ayah bertanya seperti itu?" tanya Tia kepada Ayah.
"Kalau tau, kamu pasti bisa menempatkan diri, mana yang benar mana yang salah nak," kata Ayah.
"Kenapa yah, apa aku ada salah?"
"Perempuan Minang tau jo adaik, tau jo larangannyo nak," jawab Ayah.
Sambil kebingungan Tia kembali bertanya kepada ayah, "memang apa saja larangannya yah?"
Ayah menjawab, "Banyak tingkah laku perempuan yang diatur oleh adat yaitu, ada yang dinamakan sumbang duduak, duduk yang sopan untuk perempuan minang itu adalah bersimpuh. Ketika duduk di atas kursi duduklah dengan menyamping, rapatkanlah paha. Apa Tia tau salah Tia tadi?" tanya Ayah.
"Salah duduk Tia tadi yah?"
"Iya nak, tidak hanya duduk Tia yang salah, tapi juga tempat yang Tia duduki juga salah, apa wajar Tia duduk di depan pintu?" tanya Ayah.
"Tidak yah, Tia salah duduk depan pintu, karna juga akan menghalangi jalan," jawab Tia.
"Betul. Sumbang duduak itu yang pertama nak. Kedua sumbang tagak, perempuan dilarang berdiri di depan pintu atau tangga. Tia sepeti itu tadi kan? Ketiga sumbang jalan, yaitu bagaimana perempuan minang berjalan, tidak boleh berjalan sendiri, jalan tergesa-gesa," sambung Ayah.
"Lanjut yah," kata Tia sambil mendengarkan apa yang ayah sampaikan.
"Yang keempat sumbang kato, perempuan minang itu tau cara berkata yang baik, yaitu berkata yang lemah lembut, harus sopan tentunya. Kelima sumbang caliak, tidak baik perempuan menentang pandangan lawan jenis, tundukkanlah pandangan ke bawah," kata Ayah.
"Keenam sumbang makan, jangan makan sambil berdiri, jangan membuka mulut lebar-lebar. Kalau makan dengan sendok janganlah sendok beradu dengan gigi, dan ingat juga dalam bertambah saat makan," sambung Ayah lagi.
Saat sedang mendengarkan ayah berbicara, tiba-tiba angin kencang diikuti hujan membuat Tia terkejut, dan ia langsung melihat pakaian yang dijemur ibu seperti menari-nari karena angin, dan pakaian itu pun terjatuh, Tia langsung memungut pakaian itu dan meletakkannya ke dalam rumah.
Tia duduk kembali bersama ayah sambil melihat rintik-rintik hujan yang berjatuhan dari atas genteng. Mereka seperti melihat alam yang sedang menangis terisak-isak karena angin kencang yang meniupnya.
Tia bertanya kepada ayah, "apa alam sedang tidak baik-baik saja yah?"
"Mungkin, kita berdoa yang terbaik saja, tapi kita juga harus bersyukur karna dengan turun hujan kita tidak kekurangan air, dan tanaman menjadi subur karna hujan," jawab Ayah.
Tia kemudian meminta ayah untuk menghabiskan minumannya yang hampir dingin dan melanjutkan petuahnya yang tadi sempat terputus.
"Yah, habiskan minumannya, setelah itu ayah boleh lanjut bercerita," kata Tia sambil tertawa kecil, karena masih penasaran dengan yang ayah sampaikan tadi.
"Baik, samapai mana Ayah tadi ya?" tanya Ayah.
"Yang keenam sumbang makan, Yah," jawab Tia.
"Haaaa, yang ketujuh sumbang pakai, Tia jangan mengenakan pakaian yang sempit atau ketat, dan juga pakaian yang jarang atau terawang. Pakailah baju yang longgar, serasikan dengan warna kulit Tia agar serasi dan enak dipandang, tidak perlu memakai warna yang terlalu mencolok sampai membuat mata Ayah sakit," kata ayah sambil tertawa.
Tia bertanya lagi ke ayah, "masih ada lagi yah?"
"Ada, kenapa? Tia bosan mendengarkan ayah?" tanya ayah sambil melirik.
"Tidak yah, hanya bertanya saja. Ternyata banyak sakali larangan bagi perempuan Minang ya, Yah?" Tia menaikkan sebelah alisnya.
"Benar, semua kegiatan kita, baik itu tingkah laku diri kita sendiri atau ke orang lain itu ada adabnya, semua diatur dalam adat Minangkabau. Jadi kita harus bangga dilahirkan dan tinggal di Minangkabau nak," jawab Ayah.
Mereka saling hening menatap hujan yang mulai reda, sepertinya matahari akan menampakkan senyumnya lagi.
Tiba-tiba ibu mengagetkan Tia dan ayah sambil berkata,
"Serius sekali, apa yang Tia ceritakan sama Ayah?" tanya Ibu ke Tia.
"Ini bu, Tia sedang bertanya ke ayah apa saja larangan bagi perempuan Minang," jawab Tia.
"Ooo begitu," kata Ibu sambil tersenyum.
"Ternyata banyak sekali pantangan atau larangan bagi perempuan Minang ya bu, semuanya juga sudah diatur dalam adat," ucap Tia ke Ibu.
"Benar Tia. Jadi Tia harus tau itu, Tia harus menerapkannya. Biar orang lain melihat Tia dengan rasa hormat, atau orang lain segan. Orang tidak berlaku sembarangan ke Tia," kata Ibu mengingatkan Tia.
Hujan sudah reda, angin kencang mulai hilang tanpa menyapa. Rasanya alam mulai membaik, mentari pun mulai memancarkan kembali sinarnya paling indahnya.
"Hujan sudah reda yah, apa Ayah jadi ke sawah?" tanya ibu.
"Iya bu, kan kemarin ayah belum siap membersihkan sawahnya," jawab Ayah.
Tia langsung memotong pembicaraan ayah dengan ibu, karna ayah belum siap bercerita denganku.
"Yah, tapi pembicaraan kita belum siap yah, kapan akan kita lanjutkan," tanya Tia.
"Nanti malam kita lanjutkan ya Tia, sekarang ayah mau ke sawah dulu, nanti keburu hujan lagi," jawab Ayah.
"Baik Ayah," jawab Tia.
Tak lama Ayah pun pergi ke sawah dan Tia menolong Ibu memasak untuk makan mereka nanti sore.
Waktu pun berlalu sinar mentari yang tadinya terang kini mulai meredup.
Tak lama, ayah pun pulang dari sawah.
"Ayah sudah pulang? Ayah mau Tia buatkan kopi?" kata Tia ke Ayah sambil menawarkan kopi.
"Nanti saja Tia, Ayah mau mandi dulu, nanti kita sambil makan saja," kata Ayah.
"Baik yah."
Tak berselang lama, mereka mulai makan sambil bercerita sedikit-sedikit. Setelah selesai makan, keluarga kecil itupun bersiap-siap shalat magrib bersama.
Tia mulai merayu Ayah untuk kembali melanjutkan ceritanya.
"Yah, ayo lanjutkan lagi cerita tadi siang yah," ujar Tia.
"Tia masih penasaran ternyata ya," kata Ayah.
"Iya yah, ayo lanjutkan," Tia kembali menyuruh Ayah bercerita.
"Sampai mana pembahasan kita tadi?" tanya Ayah.
"Kedelapan lagi yah, apa larangannya," tanya Tia.
Tia mulai bersiap untuk mendengarkan Ayah, tak lupa ibu juga ikut mendengarkan.
"Kedelapan sumbang karajo, perempuan minang hanya mengerjakan pekerjaan yang ringan saja, tidak perlu mengerjakan pekerjaan yang berat, karena itu adalah pekerjaan laki-laki tidak untuk perempuan," ucap Ayah.
Tia hanya mengangguk saja apa yang ayah sampaikan.
"Sembilan, sumbang tanyo, bertanya baiknya dengan lembut, jangan Tia bertanya kepada orang lain macam menguji orang. Simak dulu dan bertanya yang jelas-jelas. Apa Tia paham sampai disitu?" tanya Ayah.
"Paham yah," jawab Tia.
"Yang kesepuluh sumbang jawek, jika orang bertanya ke Tia, Tia harus menjawab dengan baik, jangan menjawab secara asal-asalan, jawab yang hanya ditanya saja," kata Ayah.
"Yang kesepuluh, sumbang bagaua, jangan bergaul dengan laki-laki jika hanya sendiri, jangan ikut pula permainan yang dilakukan laki-laki. Ada pepatah, 'kok basuo jo urang lain, kok duduak ditangah rami atau didalam alek jamu, caliak nan usah dipatinggi, mato usah dipalia. Pandang sakali lalu sajo, usah galak dipabahak," ucap Ayah.
"Ini yang susah sekarang nak," ucap Ibu.
"Kenapa bu," tanya Tia.
"Zaman sekarang banyak sekali pergaulan bebas antara laki-laki dengan perempuan, tidak ada batasannya, Tia harus jaga itu, pilah-pilih mana orang yang memberikan manfaat yang baik untuk kita, bukan untuk menyesatkan," ucap ibu.
"Ibu mu benar, jangan ikut-ikut teman, baiknya akan Tia rasakan, buruknya Tia juga yang akan merasakan sendiri. Tia harus paham itu, jauhi apa yang membuat diri Tia rugi, cari yang baiknya saja," ucap Ayah.
"Iya yah, iya bu," ucap Tia.
Tia memperhatikan ucapan Ibu dan Ayah, sambil melihat ekspresi mereka yang serius.
"Lanjut yah," pinta Tia sambil mengalihkan pembahasan ini, karena ia khawatir pembahasan ini tidak akan ada habisnya.
"Terakhir sumbang kurenah, Tia jangan berbisik-bisik saat berkumpul bersama, jangan menutup hidung saat bersama, jangan tertawa diatas penderitaan orang lain, dan bercanda secukupnya saja. Yang terpenting juga jaga kepercayaan orang lain jangan seperti musang berbulu ayam," ucap Ayah.
"Baik yah," ucap Tia.
"Terakhir pesan Ayah untuk malam ini, 'oi upiak sibiran tulang, pagang bana pituah ko. Buhua dalam kabek pinggang, buruak urang dek lakunyo. Kok roman nan indak dapek diubah, tapi kok laku jo parangai lai dapek ba ubah'. Artinya, tolak ukur kualitas seseorang itu dapat diukur dari tingkah laku dan kepribadiannya dalam keluarga, lingkungan dan masyarakat. Perempuan harus menyadari cukup rupa saja yang tidak bisa diubah, namun kelakuan dan perangainya dapat berubah ke arah yang lebih baik, dengan niat diri dan usaha kita sendiri."
Malam mulai tinggi, keheningan mulai dirasakan. Angin yang dingin mulai dirasa, butuh yang hangat untuk meredakan.
Tia, Ibu, dan Ayah menyudahi pembahasan mereka di malam ini, kemudian beranjak dari tempat duduk dan bertemu lagi pada mentari yang menyambut mereka pada pagi nanti.
Komentar
Kirim Komentar