Dua Anak Jalanan dan Kue Kebahagiaan

Sumber ilustrasi: Gurutze Ramos
Raisha Rahmana Edison
Lana menerima kue coklat berbentuk hati yang diberikan oleh pelayan toko kue sembari tersenyum dan berterima kasih. Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Sudah tidak spesial memang, untuk perempuan berumur 23 tahun yang lebih banyak memikirkan mengenai uang ketimbang sebuah perayaan. Apalagi hanya sepotong kue kecil yang dapat ia beli kapan saja.
Terik matahari sore kembali membuatnya lelah, namun ada sesuatu yang tiba-tiba membuatnya tergugah. Di tengah kemacetan kota yang terus membuatnya mendengus kesal, sejak dua hari lalu, macet benar-benar menyita emosi perempuan itu. Mungkin, lima ribu pengguna jalan yang bertahan di tengah terik matahari sore ini sama mengumpatnya seperti Lana.
"Kak, satu tisunya sepuluh ribu."
Dua anak kecil tiba-tiba menghampiri Lana, dengan tisu di salah satu tangan dan tangan lainnya yang saling bertaut. Anak laki-laki yang lebih besar kembali mengulangi ucapannya, "Sore ini terik sekali Kak, mungkin Kakak perlu tisu."
Tanpa pikir panjang, Lana mengangguk setuju. Rasanya, dua anak kecil di hadapannya itu benar-benar membius otak. Lana menatap mereka dan mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu.
Lana menepikan motornya. Lagipula, ia sudah muak diklakson oleh motor dan mobil di belakangnya. Sembari menebas jenuh, Lana berniat untuk mengajak mereka berbincang, sekadar menemaninya sembari menunggu kemacetan.
"Nama kamu siapa?" tanya Lana.
"Aku Bintang, adikku Sinar."
"Sepertinya aku pernah melihatmu beberapa hari yang lalu," Lana mengingat-ingat. "Bisakah kita mengobrol? Kalian tampak lelah sekali, aku belikan minum, ya."
"Aku mau Kak," Sinar, adik yang lebih kecil menjawab dengan antusias.
Bintang menyenggol lengan adiknya, merasa tidak enak yang langsung disadari oleh Lana. Ia menjelaskan bahwa, Lana tidak merasa keberatan dengan itu.
Lana menuntun mereka menuju taman, kemudian berpamitan untuk membeli minuman yang telah ia janjikan. Bintang dan Sinar begitu sopan, ketika Lana membawakan dua botol minuman di genggamannya. Bintang menolak dan hanya ingin mengambil satu, ia ingin berdua minum bersama adiknya.
Obrolan panjang mereka terus mengalir. Dari dekat, sesekali Lana tertawa pelan menonton dua anak kecil yang sedang berebut untuk berbicara dengannya. Bintang dan Sinar sudah sering berjualan tisu dari pagi. Tidak serta-merta selalu laku, kadang sore habis, kadang malam baru habis. Kegiatan ini mereka lakukan demi membantu perekonomian keluarganya.
"Aku sudah putus sekolah Kak. Adikku sekarang SD, jadi sedang senang-senangnya punya teman," Bintang tersenyum dengan bola mata nanarnya. "Kami tinggal bertiga bersama Ibu, dan belakangan ini Ibu sedang sakit. Jadi, aku berinisiatif untuk membantu."
Sinar terus menyeruput minumannya, kadang ikut memberikan tanggapan, kadang serius dengan aktivitasnya dan tak acuh pada percakapan. Anak kecil memang sarangnya bermain, tetapi bukan permainan seperti ini yang mereka harapkan. Apalagi Bintang dan Sinar, Lana yakin itu.
"Sinar senang sekolah Kak, tapi Kak Bintang salah. Sinar tidak suka dengan teman-teman. Mereka sombong," Sinar akhirnya ikut menanggapi, hampir membelalakkan mata saking antusiasnya. "Mereka bilang kalau Sinar memang layaknya berjualan saja, tidak usah sekolah."
"Siapa bilang Sinar hanya pantas berjualan? Semua anak-anak dan orang dewasa itu perlu sekolah, Nar. Kita semua harus belajar, termasuk Sinar," bola mata mereka beradu, Lana merasa gemas dengan orang-orang yang mengeluarkan kalimat-kalimat merugikan seperti itu.
"Teman-teman Sinar sering mengejek kami, apalagi kalau kita tidak sengaja berpapasan di jalan," Sinar menambahkan.
"Sinar bisa mengikuti pelajaran Kak, walaupun kadang terkendala dengan biaya. Jadi, seringkali ia telat membeli buku atau semacamnya," Bintang membelai rambut adiknya. "Aku bilang, selama Sinar senang belajar, yang lain tidak perlu dipusingkan."
"Aku juga ingin kembali sekolah, bertemu guru-guru. Aku ingin jadi Pilot, biar bisa bawa Sinar terbang jauh sampai ke Amerika," harap Bintang. "Aku masih bisa sekolah kan, Kak?"
Lana mengangguk setuju, "Bisa, semua orang bisa sekolah. Asal kamu rajin dan semangat belajar."
Kalimat-kalimat Bintang yang begitu serius, cukup keras menampar Lana. Adakalanya, pemikiran anak-anak terdengar lebih dewasa dibandingkan pemikiran orang dewasa sekalipun. Lebih tulus dan lebih menenangkan daripada kita, orang yang mereka anggap besar, namun ternyata tidak sebesar itu pula sabarnya.
"Kalau Bintang bisa membeli sesuatu hari ini, kira-kira apa yang akan Bintang beli?" Lana menempelkan jari telunjuknya di dagu, pura-pura berpikir. "Kalau kita berdoa hari ini, mungkin akan dikabulkan Tuhan besok."
"Aku ingin membeli kue ulang tahun, Kak," ucapnya gesit. "Besok Sinar ulang tahun. Aku ingin sekali membelikan sesuatu untuknya, tahun lalu Sinar meminta kue, tetapi Ibu tidak punya uang."
Lana termenung mendengar keinginan dari Bintang. Ia memandang kantong plastik berisi kue ulang tahun yang baru saja ia beli, kue yang ia maki karena membuatnya terjebak dalam kemacetan panjang, yang membuatnya kesal setengah mati dan mengomel tiada henti.
"Berdoa itu wujud interaksi kita dengan Tuhan, bisa cepat dikabulkan, bisa juga lambat," Lana tersenyum. "Tapi, ternyata permintaan Bintang cepat sekali dikabulkan Tuhan."
Bintang dan Sinar mengernyit bingung, Lana mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong plastik yang ia bawa. Lana memberikan kue itu kepada mereka. Kotak kue dengan ucapan ulang tahun yang membuat Sinar bertepuk tangan antusias.
"Tidak usah Kak, aku tidak enak. Ini kan kue milik Kakak," Bintang menolak dengan sopan, tetapi Sinar terlihat kecewa. "Apalagi harganya mahal."
"Tidak apa-apa, Kakak senang berbagi dan hari ini Kakak ingin berbagi dengan kalian. Diterima, ya."
Masih dengan raut wajah ragu, Bintang menerima pemberian Lana. Kemudian berulang kali mengucap terima kasih. Bintang bilang, kue itu akan ia bawa ke rumah dan dimakan bersama Ibu. Ibu akan senang kalau tahu anaknya bertemu dengan orang-orang baik seperti Lana.
Sore itu, pertemuan mereka terhenti dengan senyum ceria pada semuanya, sebelum akhirnya Lana memutuskan untuk kembali pulang ke rumah. Banyak perkara baik yang telah Lana petik hari ini. Perempuan itu bisa saja berdoa agar macet tidak terjadi, tetapi ia tidak akan bertemu dengan dua anak kecil yang membantunya belajar banyak hal baru hari ini.
Komentar
Kirim Komentar